CATATAN EVALUASI UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN (UU AP)
Oleh:
Muhammad Adiguna Bimasakti, S.H.
Hakim pada PTUN Mataram
Berkenaan dengan Hari Ulang tahun Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) yang ke-9 tepat pada hari ini, 17 Oktober 2023, izinkan saya menyampaikan beberapa permasalahan hukum terkait dengan norma-norma administrasi pemerintahan pada UU AP tersebut. UU AP saat ini telah diubah melalui Pasal 175 Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) menjadi Undang-Undang. Berikut ini adalah penjabaran catatan evaluasi UU AP sebagaimana diubah dalam UU Cipta Kerja.
- I.BAB I: KETENTUAN UMUM (Vide Pasal 175 angka 1 UU No. 6/2023 atau UU Cipta Kerja)
Beberapa definisi atau pengertian dalam UU AP mengandung permasalahan hukum, di antaranya:
- Pasal 1 angka 1 UU AP menggunakan istilah Administrasi Pemerintahan sebagaimana judul dari UU tersebut. Permasalahannya, istilah Administrasi Pemerintahan ini belum pernah dikenal sebelumnya dalam hukum positif Indonesia. Misalnya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menggunakan istilah Tata Usaha Negara dan Administrasi Negara. Jika sesuai penjelasan umum dari UU AP bahwa keberadaan UU AP adalah sebagai hukum materil dari sistem peradilan tata usaha negara maka sepatutnya digunakan istilah tata usaha negara atau administrasi negara sebagaimana digunakan dalam UU No. 5 Tahun 1986.
- Pasal 1 angka 3 UU AP Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Definisi penyelenggara negara lainnya ini bermasalah, mengingat fungsi pemerintahan tidak hanya dilaksanakan oleh penyelenggara negara tetapi juga oleh pihak swasta, misalnya dalam konteks Pendidikan (sekolah/kampus swasta), Pungutan PNBP oleh mitra, penerbitan Sertifikat Standar oleh Lembaga yang diakui Pemerintah Pusat dan lain-lain. Apakah UU AP hendak membatasi lingkup pelaksana fungsi pemerintahan hanya pada penyelenggara negara saja? Jika ia, maka hal ini bertentangan dengan definisi Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 51 Tahun 2009: Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Pasal 1 angka 4 UU AP Atasan Pejabat adalah atasan pejabat langsung yang mempunyai kedudukan dalam organisasi atau strata pemerintahan yang lebih tinggi. Definisi ini tentu bermasalah karena ada jabatan tertentu di dalam pemerintahan yang masih belum jelas siapa atasannya. Misalnya apakah atasan Kepala Desa adalah Camat atau Bupati/Walikota selaku Kepala Daerah (vide Pasal 42 ayat (3) UU AP)?
- Pasal 1 angka 5 dan Pasal 1 angka 6 UU AP membedakan istilah wewenang dengan kewenangan. Wewenang diartikan sebagai hak, sedangkan Kewenangan sebagai Kekuasaan. Kemudian Pasal 17-21 UU AP menggunakan istilah Penyalahgunaan Wewenang, sedangkan Pasal 3 UU No. 31/1999 (UU Tipikor) menggunakan istilah Menyalahgunakan Kewenangan. Apakah dengan demikian Penyalahgunaan Wewenang dalam Pasal 17-21 UU AP berbeda dengan Menyalahgunakan Kewenangan dalam Pasal 3 UU Tipikor?? Pada faktanya pada pasal-pasal selanjutnya istilah kewenangan dan wewenang digunakan secara bergantian, sehingga diferensiasi istilah wewenang dan kewenangan ini tidak relevan. Kecuali jika Kewenangan diartikan sebagai Kumpulan wewenang yang sejenis tetapi harus diperjelas apa yang dimaksud wewenang sejenis.
- Pasal 1 angka 7 UU AP menyamakan Keputusan Administrasi Pemerintahan dengan Keputusan Tata Usaha Negara, yang pada dasarnya merupakan ketetapan tertulis. Sedangkan dalam Pasal 87 UU AP, Keputusan Tata Usaha Negara menurut UU No. 5 Tahun 1986 harus dimaknai penetapan tertulis yang juga mencakup Tindakan faktual. Kedua Pasal ini (Pasal 1 angka 7 dan Pasal 87 huruf a UU AP) tentu bertentangan. Di Pasal 1 angka 7 mendefinisikan keputusan tata usaha negara hanya mencakup ketetapan tertulis tetapi di Pasal 87 huruf a keputusan tata usaha negara harus dimaknai juga sebagai penetapan tertulis yang mencakup Tindakan faktual.
- Pasal 1 angka 8 UU AP mendefinisikan Tindakan Administrasi Pemerintahan sebagai melakukan atau tidak melakukan perbuatan konkret. Sedangkan dalam Pasal 87 huruf a UU AP digunakan istilah Tindakan Faktual. Apakah perbuatan konkret sama dengan Tindakan faktual? Jika sama mengapa dibedakan? Jika melihat kepada sejarahnya, pada Draft RUU AP tahun 2013 istilah yang digunakan adalah perbuatan faktual, bukan perbuatan konkret, sehingga masih ada hubungannya dengan Tindakan faktual. Sedangkan dalam UU AP yang disahkan justru istilah perbuatan faktual diganti menjadi perbuatan konkret yang akhirnya menimbulkan kebingungan. Dalam naskah akademik RUU AP pun istilah yang digunakan adalah Tindakan nyata yang merupakan terjemahan dari istilah hukum Jerman realakt yang juga padanan dari istilah hukum Belanda feitelijke handeling atau Tindakan Faktual.
- Pasal 1 angka 10 UU AP Bantuan Kedinasan adalah kerja sama antara Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan guna kelancaran pelayanan Administrasi Pemerintahan di suatu instansi pemerintahan yang membutuhkan. Pertanyaannya apa beda antara MANDAT dengan BANTUAN KEDINASAN?
- Pasal 1 angka 11 UU AP Keputusan Berbentuk Elektronis adalah Keputusan yang dibuat atau disampaikan dengan menggunakan atau memanfaatkan media elektronik. Definisi ini tentu bermasalah, mengingat keputusan tertulis yang disampaikan dengan menggunakan media elektronik juga dianggap sebagai keputusan elektronis. Apakah keputusan elektronis disamakan dengan keputusan tertulis? Mengingat di pasal-pasal selanjutnya keputusan tertulis dan keputusan elektronis selalu dibedakan, misal dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c UU AP Pejabat berhak menetapkan Keputusan berbentuk tertulis atau elektronis.
- Pasal 1 angka 12 UU AP Sengketa Kewenangan adalah klaim penggunaan Wewenang yang dilakukan oleh 2 (dua) Pejabat Pemerintahan atau lebih. Seperti dijelaskan sebelumnya, wewenang dan kewenangan adalah dua hal yang berbeda (lihat Pasal 1 angka 5 dan angka 6 UU AP) tapi dalam pasal ini digunakan secara bergantian.
- Pasal 1 angka 19 UU AP Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara teori, izin adalah pengecualian terhadap larangan, bukan persetujuan atas permohonan. Jika yang dimaksud adalah persetujuan atas permohonan maka hal tersebut merupakan Lisensi (Licentie) atau Sertifikasi, bukan izin (vergunning).
- Pasal 1 angka 19a UU AP Standar adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang atau Lembaga yang diakui oleh Pemerintah Pusat sebagai wujud persetujuan atas pernyataan untuk pemenuhan seluruh persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu apa bedanya antara definisi standar dengan izin? Jika standar adalah bentuk khusus dari izin maka sebaiknya dinyatakan sebagai bentuk khusus dari izin.
- Pasal 1 angka 20 UU AP Dispensasi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam teori, yang disebut dispensasi adalah pengecualian atas suatu perintah atau kewajiban, bukan atas larangan.
- Pasal 1 angka 23 UU AP Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah. Hal ini bertentangan dengan Pasal 13 ayat (2) huruf a UU AP yang mengatur delegasi diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya, tidak harus yang lebih rendah.
- II.BAB II: MAKSUD DAN TUJUAN
Tidak ada catatan
- III.BAB III: RUANG LINGKUP DAN ASAS
- Pasal 4 UU AP ruang lingkup UU AP adalah penyelenggaraan fungsi pemerintahan oleh pejabat atau badan pemerintahan pada lingkup Lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif serta badan, dan pejabat atau badan pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan yang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang. Sebagaimana telah dijelaskan dalam catatan Pasal 1 angka 3 UU AP di atas, bagaimana dengan penyelenggaraan fungsi pemerintahan oleh pihak swasta, misalnya dalam konteks Pendidikan (sekolah/kampus swasta), Pungutan PNBP oleh mitra, penerbitan Sertifikat Standar oleh Lembaga yang diakui Pemerintah Pusat dan lain-lain? Bukankah Sertifikat Standar menurut UU AP bisa diterbitkan oleh Lembaga yang diakui oleh Pemerintah Pusat (vide Pasal 1 angka 19a UU AP)?
- IV.BAB IV: HAK DAN KEWAJIBAN PEJABAT PEMERINTAHAN
Judul Bab ini harusnya adalah Hak dan Kewajiban Pejabat dan Badan Pemerintahan. Isinya pun harusnya mengatur Hak dan Kewajiban Pejabat dan Badan Pemerintahan karena pelaksana fungsi pemerintahan bukan hanya pejabat tetapi juga badan pemerintaan. Berikut ini catatan evaluasi Bab IV UU AP pasal per pasal:
- Pasal 6 ayat (2) huruf b UU AP mengatur salah satu hak Pejabat Pemerintahan adalah menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan. Di sana terdapat istilah “menerbitkan atau tidak menerbitkan” yang artinya hal tersebut berlaku bagi keputusan, bukan bagi Tindakan. Sedangkan Pasal 1 angka 8 UU AP mendefinisikan Tindakan sebagai melakukan atau tidak melakukan perbuatan konkret. Namun dalam hak pejabat, Tindakan berupa tidak melakukan perbuatan konkret tidak diatur, apakah berarti pejabat tidak berhak untuk tidak melakukan Tindakan? Seharusnya rumusan ini diganti menjadi menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau membatalkan Tindakan Keputusan, dan/atau melakukan atau tidak melakukan, dan/atau membatalkan Tindakan.
- Pasal 6 ayat (2) huruf h UU AP mengatur salah satu hak Pejabat Pemerintahan adalah menerbitkan Izin, Dispensasi, dan/atau Konsesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menerbitkan Standar (yang juga bentuk perizinan seperti izin, konsesi dan dispensasi) tidak diatur karena Pasal 175 UU Cipta Kerja tidak mengubah Pasal 6 UU AP. Semestinya rumusan ini ditambahkan menjadi menerbitkan Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pasal 6 ayat (2) huruf l UU AP mengatur salah satu hak Pejabat Pemerintahan adalah menyelesaikan Upaya Administratif yang diajukan masyarakat atas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuatnya. Bagaimana dengan penyelesaian Upaya administratif berupa banding administratif yang dilakukan oleh atasan kepada keputusan/tindakan yang dibuat bawahannya? Semestinya rumusan ini harus ditambah menjadi menyelesaikan Upaya Administratif yang diajukan masyarakat atas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuatnya atau oleh bawahannya.
- 4.Pasal 7 ayat (2) huruf f UU AP mengatur salah satu kewajiban Pejabat Pemerintahan adalah memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu apabila pejabat yang bersangkutan tidak memberi kesempatan kepada warga Masyarakat, apakah hal ini bisa dijadikan dasar membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan karena hal ini wajib dilakukan pejabat??
- 5.Pasal 7 ayat (2) huruf g UU AP mengatur salah satu kewajiban Pejabat Pemerintahan adalah memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang berkaitan dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan. Lalu apabila pejabat yang bersangkutan tidak memberitahukan kepada warga Masyarakat yang dirugikan, apakah hal ini bisa dijadikan dasar membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan karena hal ini wajib dilakukan pejabat??
- 6.Pasal 7 ayat (2) huruf h UU AP mengatur salah satu kewajiban Pejabat Pemerintahan adalah menyusun standar operasional prosedur pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan. Lalu apabila pejabat yang bersangkutan tidak menyusun standar operasional prosedur pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan, apakah hal ini bisa dijadikan dasar membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan karena hal ini wajib dilakukan pejabat??
- 7.Pasal 7 ayat (2) huruf h UU AP mengatur salah satu kewajiban Pejabat Pemerintahan adalah melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh Pengadilan, pejabat yang bersangkutan, atau Atasan Pejabat. Apa maksud dari “WAJIB MELAKSANAKAN KEPUTUSAN YANG TELAH DINYATAKAN TIDAK SAH ATAU DIBATALKAN”? Bukankah keputusan yang tidak sah atau dibatalkan justru tidak boleh dilaksanakan??
- V.BAB V: KEWENANGAN PEMERINTAHAN
- Pasal 8 ayat (2) UU AP justru menggunakan istilah “menggunakan wewenang”, bukan kewenangan. Padahal Judul Bab ini adalah KEWENANGAN PEMERINTAHAN.
- Pasal 10 ayat (2) UU AP mengatur Asas-asas umum lainnya di luar AUPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterapkan sepanjang dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan penjelasan Pasal 10 ayat (2) UU AP mengatakan putusan pengadilan yang dimaksud adalah Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berkekuatan hukum tetap (tidak diajukan Upaya hukum). Hal ini jelas bermasalah mengingat UU AP adalah sumber hukum materiel bagi sistem peradilan tata usaha negara, bukan sistem peradilan umum. Janggal rasanya jika AUPB harus bersumber dari yurisprudensi peradilan umum, bukan peradilan tata usaha negara.
- Pasal 12 ayat (3) UU AP mengatur Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang. Sedangkan pada faktanya banyak sekali kewenangan atribusi yang didelegasikan tanpa ada amanat pendelegasian dari UUD mau pun UU. Apakah delegasi tersebut tidak sah dan keputusan hasil dari delegasinya juga tidak sah?
- Pasal 13 ayat (2) huruf a UU AP mengatur delegasi diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya, tidak harus yang lebih rendah. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 angka 23 UU AP bahwa Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah.
- Pasal 13 ayat (2) huruf b UU AP mengatur delegasi ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah. Pada faktanya banyak sekali peraturan perundang-undangan selain itu yang mendelegasikan kewenangan. Misalnya Peraturan Gubernur atau Bupati yang mendelegasikan kewenangan perizinan kepada Dinas PTSP. Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota bukanlah Peraturan Daerah, karena Peraturan Daerah adalah peraturan yang ditetapkan Bersama antara kepala daerah dengan DPRD. Apakah delegasi itu tidak sah dan perizinannya menjadi tidak sah?
- Pasal 14 ayat (1) UU AP Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila: a. ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan b. merupakan pelaksanaan tugas rutin. Apakah keduanya bersifat kumulatif atau alternatif?
- Pasal 14 ayat (2) UU AP mengatur bahwa terkait pelaksanaan tugas rutin, maka jika pejabat berhalangan sementara dapat ditunjuk pelaksana harian (Plh). Sedangkan jika pejabat berhalangan tetap maka dapat ditunjuk pelaksana tugas (Plt). Pertanyaannya adalah siapa yang berwenang mengangkat Plh dan Plt?? Apakah pejabat definitifnya atau atasan pejabat? Hal ini belum diatur oleh UU AP.
- Pasal 14 ayat (4) UU AP mengatur bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat. Pertanyaannya, jika Plt diangkat oleh atasan pejabat, sedangkan Plt melaksanakan jabatan dari suatu pejabat definitif yang berhalangan tetap, apakah logis yang disebut dalam keputusan adalah atasan pejabat bukan jabatan definitifnya? Misal Sekretaris Mahkamah Agung mengangkat Plt Dirjen Badan Peradilan Agama, apakah Plt Dirjen tersebut menetapkan keputusan “atas nama” Sekretaris Mahkamah Agung, atau “atas nama” Direktur Jenderal yang berhalangan tetap?
- Pasal 14 ayat (5) UU AP Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Mandat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Apakah dengan demikian Sekretaris Mahkamah Agung dapat melaksanakan kewenangan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama dalam hal pejabatnya berhalangan tetap dan sudah ditunjuk Plt? Apa dasar kewenangan Sekretaris Mahkamah Agung melaksanakan kewenangan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama dalam konteks ini?
- Pasal 14 ayat (8) UU AP Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tanggung jawab Kewenangan tetap pada pemberi Mandat. Apakah atasan pejabat bertanggungjawab atas keputusan yang dibuat jabatan di bawahnya dalam konteks mandat melalui Plt? Jika demikian siapa yang akan digugat di pengadilan? Apakah Atasan Pejabat selaku yang menunjuk Plt, atau jabatan definitifnya yang akan digugat di pengadilan?
- Pasal 16 ayat (5) UU AP Penyelesaian Sengketa Kewenangan yang melibatkan lembaga negara diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 di mana MK hanya berwenang menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, sehingga jika kewenangan tersebut bukan diberikan UUD maka MK tidak berwenang.
- Pasal 16 ayat (6) UU AP Dalam hal Sengketa Kewenangan menimbulkan kerugian keuangan negara, aset negara, dan/atau lingkungan hidup, sengketa tersebut diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sampai saat ini peraturan perundang-undangan yang dimaksud belum ada sehingga tidak jelas bagaimana penyelesaiannya.
- Pasal 18 ayat (1) huruf c UU AP mengatur salah satu bentuk melampaui wewenang adalah apabila keputusan atau tindakan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini tentu keliru, mengingat isi dari peraturan perundang-undangan tidak hanya mengenai aspek kewenangan saja tetapi juga prosedur dan substansi keputusan/Tindakan sehingga sudah bukan hanya aspek kewenangan.
- Pasal 18 ayat (3) huruf a UU AP mengatur salah satu bentuk sewenang-wenang adalah jika keputusan atau Tindakan dilakukan tanpa dasar kewenangan. Ini tentu keliru, mengingat yang dimaksud tanpa dasar kewenangan adalah apabila suatu keputusan atau Tindakan ditetapkan/dilakukan oleh pejabat yang materi wewenangnya tidak mencakup keputusan atau Tindakan tersebut. Sehingga ini masuk ke dalam kategori melampaui wewenang sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (1) huruf a UU AP.
- Pasal 18 ayat (3) huruf b UU AP mengatur salah satu bentuk sewenang-wenang adalah jika keputusan atau Tindakan bertentangan dengan Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Ini tentu keliru, mengingat isi putusan pengadilan tidak hanya mengenai aspek kewenangan saja tetapi juga prosedur dan substansi keputusan/Tindakan sehingga sudah bukan hanya aspek kewenangan saja. Semestinya definisi sewenang-wenang ini cukup mengikuti teori yang ada yakni bertindak sesukanya, tanpa ada takaran yang masuk akal. Sehingga takarannya bukan putusan pengadilan atau dasar kewenangan tetapi apakah keputusan atau Tindakan itu masuk akal atau tidak (onredelijkheid). Mengingat pula perbuatan sewenang-wenang (abuse de droit atau willekeur) bukanlah termasuk kategori penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir) di dalam teori, melainkan ia berdiri sebagai makhluk tersendiri.
- Pasal 19 ayat (2) UU AP mengatur Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan kriteria mencampuradukkan wewenang adalah apabila keputusan atau Tindakan dilakukan di luar cakupan bidang atau materi wewenang. Hal tersebut tentu sama saja dengan tidak berwenang. Seharusnya akibat hukumnya bukan dibatalkan melainkan dinyatakan tidak sah. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 56 ayat (1) UU AP yang menyatakan apabila keputusan tidak memenuhi syarat kewenangan maka keputusan itu tidak sah. Selain itu Pasal 70 ayat (1) huruf b UU AP juga jelas menyebut Keputusan yang dibuat dengan mencampuradukkan wewenang merupakan keputusa yang TIDAK SAH.
- Pasal 21 UU AP mengatur bahwa yang berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan adalah Pengadilan (Tata Usaha Negara vide Pasal 1 angka 18 UU AP). Dengan demikian segala pembuktian unsur penyalahgunaan wewenang harus dilakukan oleh PTUN, bukan pengadilan lain. Sedangkan UU Tipikor Pasal 3 mengatur menyalahgunakan kewenangan sebagai unsur pidana korupsi, sehingga hal ini menimbulkan perdebatan apakah hakim pidana berwenang menguji unsur penyalahgunaan wewenang? Kemudian apakah “menyalahgunakan kewenangan” dalam UU Tipikor sama dengan “Penyalahgunaan wewenang” dalam UU AP? Mengingat kewenangan dan wewenang adalah dua hal yang berbeda menurut Pasal 1 angka 5 dan 6 UU AP. Praktiknya hakim TUN hanya berwenang menguji unsur penyalahgunaan wewenang sebelum adanya proses pidana sesuai Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2015. Hal ini tentu menimbulkan polemik, karena UU AP tidak mengatur mengenai korelasinya dengan sistem peradilan pidana.
- VI.BAB VI: DISKRESI
- Pasal 22 UU AP mengatur bahwa Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang. Artinya kewenangan tersebut harus tetap berasal dari atribusi, delegasi atau mandat (yang merupakan kewenangan terikat). Ini tentu keliru karena diskresi diperoleh dari kewenangan yang bersifat bebas (vrije bevoegdheid) bukan kewenangan terikat (gebonden bevoegdheden). Misalnya, Menteri Pendidikan tidak diberi kewenangan untuk mengatur hal tertentu berdasarkan UU Pendidikan Tinggi, maka ia bisa menetapkan pengaturannya melalui Surat Edaran (circulair) yang dalam teori dikenal dengan peraturan kebijakan (beleidsregel). Jika diskresi harus berdasarkan kewenangan (terikat) maka seluruh beleidsregel (misal Surat Edaran) harus dinyatakan tidak sah karena ditetapkan pejabat yang tidak berwenang untuk membuat peraturan.
- Pasal 24 UU AP diubah dengan Pasal 175 angka 2 UU Cipta Kerja. Salah satu syarat diskresi yakni Pasal 24 huruf b UU AP bahwa diskresi tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dihapus dalam Pasal 175 angka 2 UU Cipta Kerja. Hal ini tentu bermasalah, karena syarat sah Keputusan dalam Pasal 52 UU AP tidak berubah, yang artinya keputusan diskresi tetap terikat pada Pasal 52 UU AP yakni tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan AUPB.
- Pasal 30 dan Pasal 31 UU AP mengatur diskresi yang melampaui wewenang dan mencampuradukkan wewenang, tetapi ada satu syarat yang beririsan yakni apabila diskresi melanggar Pasal 26, 27 dan 28 UU AP dikategorikan melampaui wewenang sekaligus mencampuradukkan wewenang. Masalahnya akibat hukum dari melampaui wewenang dan mencampuradukkan wewenang adalah berbeda. Akibat hukum dari diskresi yang melampaui wewenang menurut Pasal 30 ayat (2) UU AP adalah tidak sah, artinya dianggap tidak pernah ada. Sedangkan Akibat hukum dari diskresi yang mencampuradukkan wewenang menurut Pasal 31 ayat (2) UU AP adalah dapat dibatalkan, artinya dianggap ada sampai dibatalkan. Tentu keduanya saling bertentangan. Apakah diskresi yang melanggar Pasal 26, 27 dan 28 UU AP harus dinyatakan tidak sah atau dibatalkan??
- Pasal 32 UU AP Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang. Hal ini sama dengan Pasal 18 ayat (3) huruf b UU AP. Semestinya definisi sewenang-wenang ini cukup mengikuti teori yang ada yakni bertindak sesukanya, tanpa ada takaran yang masuk akal. Sehingga takarannya bukan putusan pengadilan atau dasar kewenangan tetapi apakah keputusan atau Tindakan itu masuk akal atau tidak (onredelijkheid). Mengingat pula perbuatan sewenang-wenang (abuse de droit atau willekeur) bukanlah termasuk kategori penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir) di dalam teori, melainkan ia berdiri sebagai makhluk tersendiri.
- VII.BAB VII: PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
- Pasal 33 ayat (2) UU AP Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang tetap berlaku hingga berakhir atau dicabutnya Keputusan atau dihentikannya Tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang. Ini tentu keliru karena mestinya Keputusan tetap berlaku sampai DIBATALKAN atau DINYATAKAN TIDAK SAH sesuai Pasal 70 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (2) UU AP. Artinya Pasal 33 ayat (2) UU AP bertentangan dengan Pasal 70 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (2) UU AP. Kemudian pertanyaan selanjutnya APA PERBEDAAN ANTARA PEMBATALAN DENGAN PENCABUTAN? Karena jika melihat konstruksinya dalam Pasal 64 dan 66 UU AP tidak ada bedanya antara Pencabutan dengan Pembatalan. Kemudian ada pula Penarikan Dokumen, apa bedanya dengan Keputusan Pencabutan?
- Pasal 33 ayat (3) UU AP mengatur pencabutan keputusan atau penghentian Tindakan wajib dilakukan oleh pejabat/badan, atau atasan pejabat/badan dalam konteks banding administratif. Masalahnya:
- Apabila Tindakan yang dimaksud adalah berupa TIDAK MELAKUKAN PERBUATAN KONKRET bagaimana cara MENGHENTIKANNYA??
- Apabila Tindakan dilakukan oleh bawahan, bagaimana cara Atasan Pejabat menghentikan Tindakan dari bawahannya?
- Pasal 39 ayat (7) UU AP sebagaimana diubah dalam Pasal 175 angka 5 UU Cipta Kerja mengatur Standar berlaku sejak pemohon menyatakan komitmen pemenuhan elemen Standar. Sedangkan hal ini bertentangan dengan Pasal 60 ayat (1) UU AP bahwa Keputusan memiliki daya mengikat sejak diumumkan atau diterimanya Keputusan oleh pihak yang tersebut dalam Keputusan.
- Pasal 39 ayat (8) UU AP mengatur lzin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara. Apakah dengan demikian Keputusan Standar boleh merugikan negara?
- VIII.BAB VIII: PROSEDUR ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
- Pasal 42 ayat (3) UU AP Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. Presiden bagi menteri/pimpinan lembaga dan kepala daerah; b. menteri/pimpinan lembaga bagi pejabat di lingkungannya; c. kepala daerah bagi pejabat daerah; dan d. atasan langsung dari Pejabat Pemerintahan. Masalahnya ada beberapa jabatan yang tidak jelas siapa atasannya. Misalnya apakah atasan kepala desa adalah kepala daerah sesuai huruf c, atau camat selaku atasan langsung dalam huruf d?
- Pasal 43 UU AP mengatur konflik kepentingan yang dimaksud adalah adanya hubungan antara pejabat dengan pihak warga Masyarakat terkait hal tertentu seperti hubungan bisnis, pekerjaan, kekerabatan, kekeluargaan. Namun ada pula hubungan yang tidak jelas apa maksudnya. Sejauh apa hubungan yang dimaksud, misalnya apakah hubungan teman kuliah dapat menjadi potensi konflik kepentingan? Apakah kenalan juga termasuk? Lalu kerabat dan keluarga sejauh apa yang dimaksud? Apakah derajat ke 10 dari hubungan keluarga masih dianggap keluarga?
- Pasal 47 UU AP Dalam hal Keputusan menimbulkan pembebanan bagi Warga Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Permasalahannya: Apakah kewajiban pemberitahuan sebelum penetapan keputusan/Tindakan ini berakibat batalnya keputusan/Tindakan jika tidak dilakukan mengingat hal ini termasuk dalam prosedur? (Kecuali bagi yang diatur Pasal 48 UU AP)
- Pasal 49 UU AP Pejabat Pemerintahan sesuai dengan kewenangannya wajib menyusun dan melaksanakan pedoman umum standar operasional prosedur (SOP) pembuatan Keputusan. Apakah jika tidak ada SOP (wajib), keputusan menjadi batal karena cacat prosedur?
- IX.BAB IX: KEPUTUSAN PEMERINTAHAN
- Pasal 52 ayat (2) UU AP Sahnya Keputusan didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB. Sedangkan bagi keputusan diskresi dalam Pasal 24 UU AP tidak wajib didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
- Pasal 53 UU AP sebagaimana diubah dalam Pasal 175 angka 7 UU Cipta Kerja. Dalam ayat (1) Jangka waktu penerbitan keputusan dan/atau Tindakan adalah sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam ayat (2) apabila peraturan perundang-undangan tidak mengatur jangka waktu maka jangka waktunya adalah 5 hari kerja setelah permohonan lengkap. Ayat (3) mengatur jika permohonan melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang. Ayat (4) mengatur Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum (ini dikenal dengan keputusan fiktif positif). Ayat (5) mengatur Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden. Permasalahannya:
- Peratruan Presiden sebagaimana diatur ayat (5) belum dibuat sampai saat ini, sehingga status keputusan fiktif positif menjadi mengambang;
- Norma Fiktif Positif dalam ayat (4) hanya berlaku bagi permohonan yang diatur AYAT (2) SAJA. Artinya fiktif positif (dianggap dikabulkan) hanya berlaku apabila peraturan perundang-undangan tidak mengatur jangka waktu kewajiban penerbitan keputusan/Tindakan. Bagaimana jika peraturan perundang-undangan mengatur waktu penerbitan keputusan/Tindakan? Apakah yang demikian berlaku Norma Fiktif Negatif (dianggap menolak)?
- Perubahan Pasal 53 UU AP dalam Pasal 175 angka 7 UU Cipta Kerja ini menghapus kewenangan pengadilan TUN dalam konteks permohonan fiktif positif karena diasumsikan tindak lanjut atas keputusan fiktif positif diatur dengan peraturan presiden. Namun faktanya sampai saat ini banyak sekali perkara fiktif positif yang diselundupkan menjadi sengketa Tindakan Faktual di PTUN.
- Pasal 54 ayat (1) UU AP mengatur Keputusan meliputi Keputusan yang bersifat: a. konstitutif; atau b. deklaratif. Sedangkan dalam penjelasannya Yang dimaksud dengan “Keputusan yang bersifat konstitutif” adalah Keputusan yang bersifat penetapan mandiri oleh Pejabat Pemerintahan. Yang dimaksud dengan “Keputusan yang bersifat deklaratif” adalah Keputusan yang bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif. Definisi ini keliru, karena:
- Keputusan konstitutif semestinya adalah keputusan yang menetapkan hak/kewajiban yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Atau sebaliknya, menghapus hak/kewajiban yang sebelumnya ada menjadi tidak ada. Misalnya pemberian izin atau pencabutan izin; dan
- Keputusan Deklaratif semestinya adalah keputusan yang bersifat menegaskan hak/kewajiban yang sudah ada secara hukum, atau peristiwa hukum yang sudah ada. Misalnya akta kelahiran, yang merupakan keputusan deklaratif menegaskan telah terjadi peristiwa hukum berupa kelahiran seseorang beserta hak-hak sipilnya.
- Pasal 54 ayat (2) UU AP Keputusan yang bersifat deklaratif menjadi tanggung jawab Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif. Ini tentu bermasalah, karena tidak sesuai dengan asas kewenangan yakni geen verantwoordelijkheid zonder bevoegdheid (tiada pertanggungjawaban tanpa kewenangan). Artinya siapa yang berwenang menetapkan dialah yang bertanggungjawab.
- Pasal 55 ayat (1) UU AP Setiap Keputusan harus diberi alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis yang menjadi dasar penetapan Keputusan. Ayat (2) Pemberian alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan jika Keputusan tersebut diikuti dengan penjelasan terperinci. Lalu apakah keputusan yang tidak disertai alasan yuridis, sosiologis dan filosofis atau penjelasan terperinci harus dibatalkan?
- Pasal 60 ayat (2) UU AP Dalam hal terdapat perbedaan waktu pengumuman oleh penerima Keputusan, daya mengikat Keputusan sejak diterimanya. Redaksi ini keliru, karena pengumuman keputusan tidak dilakukan oleh penerima keputusan, semestinya: Dalam hal terdapat perbedaan waktu pengumuman dan penerimaan, daya mengikat Keputusan sejak diterimanya.
- Pasal 65 ayat (1) UU AP Syarat Penundaan Keputusan di sini bertentangan dengan Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986:
- Keputusan dapat ditunda jika berpotensi menimbulkan kerugian negara. Sedangkan dalam Pasal 67 UU 5/1986 keputusan tidak dapat ditunda dalam hal kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut. Jadi walau pun ada potensi kerugian negara, tetapi jika terkait kepentingan umum dalam rangka Pembangunan maka menurut Pasal 67 UU 5/1986 tidak boleh ditunda;
- Keputusan dapat ditunda jika berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan dalam Pasal 67 UU 5/1986 keputusan tidak dapat ditunda dalam hal kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut. Jadi walau pun ada potensi kerusakan lingkungan, tetapi jika terkait kepentingan umum dalam rangka Pembangunan maka menurut Pasal 67 UU 5/1986 tidak boleh ditunda;
- Keputusan dapat ditunda jika berpotensi menimbulkan konflik sosial. Sedangkan dalam Pasal 67 UU 5/1986 keputusan tidak dapat ditunda dalam hal kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut. Jadi walau pun ada potensi konflik sosial, tetapi jika terkait kepentingan umum dalam rangka Pembangunan maka menurut Pasal 67 UU 5/1986 tidak boleh ditunda.
- Pasal 64 ayat (2) huruf b UU AP keputusan dapat dicabut oleh Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan. Sedangkan dalam Pasal 33 ayat (3) huruf b UU AP pencabutan oleh atasan pejabat hanya bisa dilakukan dalam apabila pada tahap penyelesaian Upaya Administratif. Mana yang benar?
- Pasal 65 ayat (3) UU AP Penundaan Keputusan dapat dilakukan berdasarkan: a. Permintaan Pejabat Pemerintahan terkait; atau b. Putusan Pengadilan. Hal ini perlu diperbaiki, semestinya penundaan bukan dilakukan berdasarkan permintaan pejabat pemerintahan terkait tetapi berdasarkan permintaan warga Masyarakat terkait.
- Pasal 66 ayat (1) UU AP Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat: a. wewenang; b. prosedur; dan/atau c. substansi. Hal ini bertentangan dengan Pasal 56 ayat (1) UU AP yang menyatakan apabila keputusan tidak memenuhi syarat kewenangan maka keputusan itu tidak sah, bukan dapat dibatalkan.
- Pasal 67 ayat (1) UU AP Dalam hal Keputusan dibatalkan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menarik kembali semua dokumen, arsip, dan/atau barang yang menjadi akibat hukum dari Keputusan atau menjadi dasar penetapan Keputusan. Apa bedanya PENARIKAN Kembali dengan PENCABUTAN?
- Pasal 68 UU AP mengatur keputusan berakhir salah satunya apabila keputusan dicabut atau keputusan dibatalkan. Apakah pencabutan dan pembatalan adalah dua cara yang berbeda untuk mengakhiri keberlakuan keputusan, atau justru pencabutan adalah tindak lanjut dari pembatalan?? Karena ternyata dalam Pasal 68 ayat (3) ada istilah keputusan pencabutan sedangkan dalam ayat (4) ada istilah keputusan pembatalan.
- Pasal 69 UU AP Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengubah Keputusan atas permohonan Warga Masyarakat terkait, baik terhadap Keputusan baru maupun Keputusan yang pernah diubah, dicabut, ditunda atau dibatalkan. Untuk apa mengubah keputusan yang sudah dicabut atau dibatalkan? Bukankah keputusan yang dicabut atau dibatalkan sudah berakhir keberlakuannya?
- Pasal 70 ayat (1) huruf b UU AP juga jelas menyebut Keputusan yang dibuat dengan mencampuradukkan wewenang merupakan keputusa yang TIDAK SAH. Sedangkan Pasal 19 ayat (2) UU AP mengatur Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pasal 19 ayat (2) UU AP ini juga bertentangan dengan Pasal 56 ayat (1) UU AP yang menyatakan apabila keputusan tidak memenuhi syarat kewenangan maka keputusan itu tidak sah. Mana yang benar??
- Pasal 70 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (2) UU AP menyatakan Keputusan tetap berlaku sampai DIBATALKAN atau DINYATAKAN TIDAK SAH. Artinya Pasal 70 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (2) UU AP bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UU AP yang mengatur Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang tetap berlaku hingga berakhir atau dicabutnya Keputusan atau dihentikannya Tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
- Pasal 72 ayat (1) UU AP Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh Pengadilan atau pejabat yang bersangkutan atau atasan yang bersangkutan. Norma ini jelas keliru. Kenapa pejabat wajib melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan tidak sah??
- Pasal 74 ayat (1) UU AP Keputusan wajib menggunakan bahasa Indonesia. Apakah jika ini dilanggar menyebabkan batalnya keputusan karena cacat substansi?
- X.BAB X: UPAYA ADMINISTRATIF
- Pasal 75 ayat (1) UU AP Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan Upaya Administratif. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 77 ayat (1) UU AP karena dalam Pasal 77 ayat (1) upaya administratif keberatan hanya dapat diajukan atas keputusan, tidak termasuk Tindakan.
- Pasal 75 ayat (2) UU AP mengatur Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. keberatan; dan b. banding. Pada faktanya banyak peraturan perundang-undangan di luar UU AP yang mengatur Upaya administratif yang bersifat khusus, misalnya Pasal 129 UU ASN (Keberatan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan banding kepada BPASN tidak berjenjang), lalu ada pula UU Pemilu dalam sengketa proses Pemilu Keberatan diajukan kepada BAWASLU, dan lain-lain. Sehingga harus ditambahkan ketentuan bahwa Upaya administratif dapat pula diatur dalam peraturan perundang-undangan.
- Pasal 76 ayat (3) UU AP: Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. Pada faktanya jika keberatan tidak diselesaikan oleh Pejabat/Badan, warga Masyarakat langsung mengajukan gugatan di Pengadilan. 80% Perkara di PTUN adalah perkara semacam ini, yakni perkara yang keberatannya tidak diselesaikan pejabat/badan.
- Pasal 77 ayat (1) UU AP: Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diumumkannya Keputusan tersebut oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Permasalahan dari norma ini adalah:
- Pasal 75 mengatur Upaya administratif dapat diajukan atas keputusan dan/atau Tindakan. Sedangkan Pasal 77 ayat (1) hanya keputusan yang dapat diajukan keberatan;
- Pasal ini mengatur waktu keberatan adalah 21 hari kerja sejak keputusan diumumkan. Sedangkan tidak semua keputusan diumumkan oleh pejabat. Lalu apakah jika tidak diumumkan maka tidak bisa diajukan keberatan?
- Pasal 77 ayat (6) UU AP Keberatan yang dianggap dikabulkan, ditindaklanjuti dengan penetapan Keputusan sesuai dengan permohonan keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Pada faktanya jika keberatan tidak diselesaikan oleh Pejabat/Badan, warga Masyarakat langsung mengajukan gugatan di Pengadilan. 80% Perkara di PTUN adalah perkara semacam ini, yakni perkara yang Upaya administratifnya tidak diselesaikan pejabat/badan.
- Pasal 77 ayat (7) UU AP Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal ini pasal mati karena faktanya jika pejabat/badan tidak menyelesaikan yang Upaya administratifnya tidak diselesaikan maka permohonan tidak akan digubris sama sekali. Bahkan jika keberatan tidak diselesaikan oleh Pejabat/Badan, warga Masyarakat langsung mengajukan gugatan di Pengadilan. 80% Perkara di PTUN adalah perkara semacam ini, yakni perkara yang Upaya administratifnya tidak diselesaikan.
- Pasal 78 ayat (5) UU AP Dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menyelesaikan banding dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), keberatan dianggap dikabulkan. Faktanya 80% perkara di PTUN adalah perkara yang Upaya administratifnya tidak diselesaikan.
- Pasal 78 ayat (6) UU AP Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal ini pasal mati karena faktanya jika pejabat/badan tidak menyelesaikan yang Upaya administratifnya tidak diselesaikan maka permohonan tidak akan digubris sama sekali. Bahkan jika keberatan tidak diselesaikan oleh Pejabat/Badan, warga Masyarakat langsung mengajukan gugatan di Pengadilan. 80% Perkara di PTUN adalah perkara semacam ini, yakni perkara yang Upaya administratifnya tidak diselesaikan.
- XI.BAB XI: PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
- Pasal 79 ayat (1) UU AP Pembinaan dan pengembangan Administrasi Pemerintahan dilakukan oleh Menteri dengan mengikutsertakan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan UU AP ini tidak berlaku bagi pejabat setara Menteri/Lembaga dan Presiden, karena tidak mungkin Menteri membina pejabat lain yang setara atau lebih tinggi.
- XII.BAB XII: SANKSI ADMINISTRATIF
- Pasal 80 ayat (1), (2) dan (3) saat ini telah dilaksanakan melalui PP No. 48 tahun 2016. Namun pada faktanya di dalam praktik pemerintahan tidak berjalan. Misalnya saja dalam konteks Upaya administratif yang tidak diselesaikan dan tidak ditindaklanjuti sebagaimana diatur Pasal 77 ayat (7) dan Pasal 78 ayat (6) harusnya dikenakan sanksi administratif ringan. Namun pada faktanya sanksi ini tidak berjalan, dan justru jika keberatan tidak diselesaikan oleh Pejabat/Badan, warga Masyarakat langsung mengajukan gugatan di Pengadilan.
- Pasal 80 ayat (2) UU AP mengatur pelanggaran atas Pasal 53 ayat (2), Pasal 53 ayat (6) dikenakan sanksi administratif sedang. Padahal ketentuan Pasal 53 UU AP telah diubah oleh Pasal 175 angka 7 UU Cipta Kerja dan hanya ada sampai ayat (5) saja.
- Pasal 82 UU AP pada pokoknya mengatur pemberian sanksi administratif dilakukan oleh atasan pejabat. Namun bagaimana jika yang melanggar adalah Presiden? Apakah dapat dikenakan sanksi administratif?
- XIII.BAB XIII: KETENTUAN PERALIHAN
- Pasal 85 ayat (1) UU AP Pengajuan gugatan sengketa Administrasi Pemerintahan yang sudah didaftarkan pada pengadilan umum tetapi belum diperiksa, dengan berlakunya Undang-Undang ini dialihkan dan diselesaikan oleh Pengadilan. Permasalahan dari rumusan norma ini adalah:
- Apakah yang dimaksud sengketa administrasi pemerintahan? Apakah sama dengan Sengketa Tata Usaha Negara dalam UU No. 51 Tahun 2009 (Perubahan kedua atas UU 5/1986)?? Ini menimbulkan kebingungan sehingga banyak yang beranggapan semua sengketa yang tergugatnya adalah pejabat/badan pemerintahan harus menjadi kewenangan PTUN.
- Bagaimana dengan sengketa atas keputusan tidak tertulis seperti Pelantikan Pejabat, atau sengketa kontrak perdata pemerintah? Apakah masuk kepada sengketa administrasi pemerintahan yang dimaksud??
- Pasal 87 UU AP pada dasarnya memperluas definisi Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam UU No. 51/2009 Jo. UU 5/1986. Namun, terdapat beberapa permasalahan dalam rumusan normanya:
- Huruf a memperluas lingkup KTUN menjadi penetapan tertulis yang juga mencakup Tindakan faktual. Apakah maksud dari kata “mencakup”?? Apakah KTUN mencakup Tindakan Faktual atau justru penetapan tertulisnya yang mencakup Tindakan faktual?? Jika KTUN mencakup Tindakan Faktual maka Tindakan faktual dapat berdiri sendiri sebagai Objek Sengketa di PTUN. Namun jika penetapan tertulisnya yang mencakup Tindakan faktual maka Tindakan faktual tidak bisa digugat secara mandiri di PTUN melainkan harus mengenai penetapan tertulis yang mendahuluinya. Sedangkan tidak semua Tindakan faktual didahului oleh penetapan tertulis. Selanjutnya adalah, apakah Tindakan faktual sama dengan PERBUATAN KONKRET dalam Pasal 1 angka 8 UU AP?? Jika melihat Sejarah hukum dari UU AP, pada draft RUU AP tahun 2013 istilah yang digunakan adalah Perbuatan Faktual bukan Perbuatahn Konkret sehingga dapat disimpulkan Tindakan Faktual adalah Perbuatan Konkret. Kemudian dalam Naskah Akademik RUU AP pun menggunakan istilah Tindakan nyata (Jerman: Realakt) yang merupakan padanan istilah Tindakan Faktual (Belanda: Feitelijke Handeling). Sehingga penafsiran yang membedakan antara Tindakan dalam Pasal 1 angka 8 dan Pasal 87 UU AP adalah penafsiran yang KELIRU.
- Huruf d memperluas lingkup KTUN termasuk Keputusan bersifat final dalam arti lebih luas. Penjelasan Pasal 87 huruf d UU AP final dalam arti luas adalah mencakup Keputusan yang diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang. Hal ini bertentangan dengan pengertian keputusan “final” dalam teori. Di dalam teori, keputusan yang bersifat final adalah keputusan yang telah menimbulkan akibat hukum. Sehingga harusnya unsur final ini dibaca satu nafas dengan unsur menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolg).
Demikian catatan evaluasi UU AP yang dapat saya berikan. Semoga bermanfaat bagi evaluasi satu dasawarsa UU AP pada tahun 2024 mendatang.
REFERENSI:
Aditya, Zaka Firma; Muhammad Adiguna Bimasakti; dan Anna Erliyana. Hukum Administrasi Negara Kontemporer (Konsep, Teori, dan Penerapannya di Indonesia). Depok: Rajawali Pers, 2023.
Bimasakti, Muhammad Adiguna. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Oleh Pemerintah/Onrechtmatige Overheidsdaad (OOD) dari Sudut Pandang Undang-Undang Administrasi Pemerintah. Yogyakarta: Deepublish, 2018.
Bimasakti, Muhammad Adiguna dan Heru Susetyo. Aspek-Aspek Hukum dalam. Pelayanan Publik Pasca Undang-Undang Cipta Kerja. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021.
Bimasakti, Muhammad Adiguna dan Muhammad Noor Halim Perdanakusumah. Panduan Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara dan Persidangan Elektronik (Edisi Revisi). Jakarta: Kencana, 2022.
Bimasakti, Muhammad Adiguna. “Penjelasan Hukum (Restatement) Konsep Tindakan Administrasi Pemerintahan Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 11 No. 1 (2022).
Cane, Peter. Administrative Tribunals and Adjudications. Oxford and Portland: Hart Publishing, 2009.
Damen, L.J.A. et.al. Bestuusrecht, Systeem, Bevoegdheid, Bevoegdheidsuitoefening, Handhaving. Tweede druk. Den Haag: BJU Boom Juridische Uitgevers, 2005.
Ellis-Jones, Ian. Essential Administrative Law. Sydney-London: Cavendish Publishing, 2001.
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987.
Hadjon, Philipus M. “Tentang Wewenang”. Jurnal Yuridika, No. 5 dan 6 tahun XII. September–Desember, 1997.
Hadjon, Philipus M., et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Subekti, et.al. Kamus Hukum. cet ke-4. Jakarta: Pradnya Pramita, 1979.