w3c wai AAA  w3c html 5

Header Website

MOTTO PTUN MATARAM : MANDALIKA (MANDIRI, AKUNTABEL, INTEGRITAS, KREATIF, DAN AMANAH)

Written by Super User on . Hits: 29253

ISU-ISU HUKUM ACARA

UNTUK PERUBAHAN

UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

(Muhammad Adiguna Bimasakti – Hakim PTUN Mataram)

Tak boleh dipungkiri, banyak sekali pengaturan hukum acara peradilan tata usaha negara yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang sudah tidak relevan di dalam praktik peradilan tata usaha negara saat ini. Sudah terlalu banyak isu hukum yang menyertai urgensi untuk mengganti hukum acara di dalam UU No. 5 Tahun 1986 dan perubahan-perubahannya. Berikut ini adalah beberapa isu hukum tersebut:

  1. I.PERLUASAN KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Kewenangan absolut Peradilan Tata Usaha Negara saat ini diatur dalam Pasal 25 ayat (5) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekusaan Kehakiman, yakni mengadili sengketa tata usaha negara sesuai peraturan perundang-undangan. Definisi Sengketa Tata Usaha Negara sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yakni:

…sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan definisi tersebut maka Sengketa Tata Usaha Negara memiliki tiga unsur utama dan satu unsur tambahan yakni:

  1. Unsur utama berupa Pokok/bidang Sengketa (Fundamentum Petendi), yakni “sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara”. Artinya jika sengketa tersebut tidak dalam bidang tata usaha negara (dalam bidang hukum tata negara / konstitusi atau bidang hukum pidana atau perdata misalnya) maka bukan merupakan sengketa tata usaha negara;
  2. Unsur utama berupa Subjek Sengketa (Subjectum Litis), yakni sengketa “antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah”. Artinya jika sengketa terjadi antar orang atau badan hukum perdata, dan tidak melibatkan pejabat tata usaha negara baik di daerah mau pun pusat maka itu bukan sengketa tata usaha negara;
  3. Unsur utama berupa Objek Sengketa (Objectum Litis), yakni sengketa “sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara”. Artinya jika sengketa terjadi bukan akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, maka itu bukan sengketa tata usaha negara;
  4. Unsur tambahan yakni “termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Artinya sengketa kepegawaian ini adalah sengketa tata usaha negara yang bersifat khusus karena dapat meminta rehabilitasi dalam gugatannya. Sedangkan untuk gugatan selain sengketa kepegawaian tidak boleh meminta rehabilitasi sesuai Pasal 97 ayat (11) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Oleh karena itu jika suatu sengketa tidak memenuhi satu dari tiga unsur utama di atas maka sengketa tersebut bukan sengketa tata usaha negara dan bukanlah kewenangan absolut peradilan tata usaha negara. Namun pada faktanya banyak sekali undang-undang di luar UU No. 5 Tahun 1986 dan perubahannya yang memperluas kewenangan peradilan tata usaha negara di luar sengketa tata usaha negara yang dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman mau pun Pasal 1 angka 10 UU No. 51 Tahun 2009. Perluasan kewenangan ini bisa dibagi menjadi dua golongan besar, yakni perluasan kewenangan di dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP – hukum materil dalam sistem peradilan tata usaha negara), dan perluasan kewenangan di luar Undang-Undang No. 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP).

  1. A.Perluasan Kewenangan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan

Pasca diundangkannya Undang-Undang No. 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) sebagaimana telah diubah dalam Pasal 175 Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja), kewenangan peradilan tata usaha negara secara umum diperluas. Sebagai catatan, salah satu kewenangan peradilan tata usaha negara yakni mengadili permohonan fiktif positif dalam Pasal 53 UU AP telah dihapus dalam Pasal 175 angka 7 UU Cipta Kerja. Setidaknya secara umum ada tiga jenis perluasan kewenangan peradilan tata usaha negara di dalam UU AP Jo. UU Cipta Kerja sebagai berikut:

  1. Perluasan definisi Keputusan Tata Usaha Negara di dalam Pasal 1 angka 7 UU AP Jo. Pasal 87 huruf b sampai f UU AP yang meluaskan jangkauan objek sengketa berupa Keputusan tata usaha negara di peradilan tata usaha negara. Di antaranya Keputusan yang berlaku bagi warga Masyarakat dalam Pasal 87 huruf f UU AP memperluas unsur individual dalam definisi Keputusan tata usaha negara pada Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009, kemudian unsur “final dalam arti luas” dalam Pasal 87 huruf d UU AP memperluas unsur final dalam definisi Keputusan tata usaha negara pada Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009. Dengan demikian sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016, saat ini jenis Keputusan yang dapat menjadi objek sengketa di peradilan tata usaha negara adalah Keputusan baik yang bersifat umum (besluiten van algemene strekking) mau pun individual (beschikking), sepanjang bukan merupakan peraturan perundang-undangan;
  2. Perluasan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dengan memberikan kewenangan mengadili sengketa atas Tindakan Administrasi Pemerintahan sesuai Pasal 1 angka 8 UU AP Jo. Pasal 87 huruf a UU AP. Permasalahannya tidak jelas apa yang dimaksud Tindakan Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 8 UU AP hanya menjelaskan Tindakan Administrasi Pemerintahan adalah melakukan atau tidak melakukan perbuatan konkret, sedangkan UU AP tidak juga menjelaskan apa itu perbuatan konkret. Istilah perbuatan konkret juga tidak dikenal di dalam doktrin Hukum Administrasi Negara (HAN). Dalam Pasal 87 huruf a UU AP malah digunakan istilah yang berbeda yakni Tindakan Faktual yang justru lebih familiar dalam doktrin HAN, yakni Tindakan-tindakan yang tidak dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolgen). Sebagian hakim berpendapat perbuatan konkret yang dimaksud Pasal 1 angka 8 UU AP adalah sama dengan Tindakan Faktual (feitelijke handelingen) dalam Pasal 87 huruf a UU AP karena dalam draft RUU AP pada tahun 2013 istilah yang digunakan Pasal 1 angka 8 UU AP adalah perbuatan faktual bukan perbuatan konkret. Namun sebagian hakim yang lain menganggap Tindakan administrasi pemerintahan (melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret) adalah seluruh Tindakan pemerintahan yang dikenal dalam doktrin hukum Belanda sebagai bestuurshandelingen, baik berupa Tindakan hukum (Rechtshandelingen) mau pun Tindakan faktual, sehingga peradilan tata usaha negara juga berwenang mengadili gugatan atas tidak diterbitkannya Keputusan (Tindakan hukum);
  3. Perluasan kewenangan dalam hal jenis perkara. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dan perubahan-perubahannya, jenis perkara yang dikenal dalam hukum acara peradilan tata usaha negara hanya berupa gugatan, dan tidak dikenal jenis perkara berupa permohonan. Sedangkan dalam Pasal 21 UU AP peradilan tata usaha negara diberikan kewenangan atas permohonan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan.

Permasalahannya, perluasan sengketa dalam UU AP ini tidak dibarengi dengan perubahan norma di dalam UU No. 5 Tahun 1986 dan perubahan-perubahannya. Sehingga permasalahannya adalah sebagai berikut:

  1. Pasal 87 UU AP memperluas definisi Keputusan dalam UU No. 51/2009 tanpa mengubah definisi Keputusan dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 sehingga hal ini janggal. Kejanggalan berlanjut dengan memasukkan Tindakan faktual sebagai bagian dari Keputusan, padahal di dalam Pasal 1 angka 7 UU AP jelas keputusan adalah ketetapan tertulis saja, tidak termasuk Tindakan faktual. Ini merupakan disharmoni norma atau antinomi dalam UU AP. Selain itu masih terdapat perbedaan penafsiran di antara para hakim mengenai apa itu perbuatan konkret sebagaimana dijelaskan di atas;
  2. Di dalam UU No. 5/1986 dan perubahan-perubahannya hanya mengenal jenis perkara berupa gugatan, sedangkan Pasal 21 UU AP mengatur jenis perkara permohonan. Secara teori, perkara permohonan sifatnya adalah volunteer sehingga bukan perkara yang bersifat sengketa, melainkan atas inisiatif pemohon pribadi, tanpa adanya pihak lawan. Sedangkan gugatan adalah jenis perkara yang bersifat contentiosa atau bersifat sengketa (perbedaan pendapat). Pada praktiknya, meski pun dilabeli jenis perkara permohonan tetapi bentuk penyelesaian sengketanya berkarakter sengketa/gugatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang.
  3. Amar putusan untuk sengketa Tindakan administrasi pemerintahan tidak bisa disamakan dengan amar putusan untuk sengketa Keputusan tata usaha negara. Berikut penjelasannya:
  4. Di dalam sengketa Keputusan tata usaha negara (berisi Tindakan hukum di bidang tata usaha negara), menurut Pasal 97 ayat (7) sampai (11) jika gugatan dikabulkan amar pokoknya adalah menyatakan batal atau tidak sah Keputusan tata usaha negara. Kemudian selain itu dapat pula mewajibkan Tergugat mencabut Keputusan yang digugat, dan mewajibkan tergugat menerbitkan Keputusan yang baru. Selain itu dapat pula disertai kewajiban ganti kerugian, dan untuk sengketa kepegawaian dapat disertai kewajiban rehabilitasi; sedangkan
  5. Di dalam sengketa Tindakan administrasi pemerintahan, yang objeknya bukan Tindakan hukum, maka amar untuk menyatakan batal atau tidak sah sebenarnya sangat tidak relevan karena Tindakan faktual tidak punya akibat hukum sehingga tidak ada yang perlu dibatalkan. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 4 Jo. Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige Overheidsdaad), amar untuk sengketa Tindakan adalah menyatakan batal atau tidak sah, dan mewajibkan tergugat untuk melakukan/tidak melakukan/menghentikan Tindakan, dan dapat pula disertai kewajiban ganti kerugian. Selain itu dapat pula disertai dengan rehabilitasi kepada keadaan semula. Padahal logikanya untuk Tindakan faktual tidak perlu pembatalan karena tidak ada akibat hukumnya sejak awal, dan tidak bisa pula ada permohonan rehabilitasi karena rehabilitasi hanya berlaku bagi sengketa kepegawaian sesuai Pasal 97 ayat (11) UU No. 5/1986. Amar mengenai melakukan/tidak melakukan/menghentikan Tindakan juga tidak ada di dalam undang-undang melainkan hanya diatur oleh Perma.
    1. Norma mengenai besaran ganti kerugian di dalam Pasal 120 ayat (3) UU No. 5/1986 didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah yang saat ini diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara: “Besarnya ganti rugi yang dapat diperoleh penggugat paling sedikit Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah), dan paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), dengan memperhatikan keadaan yang nyata”. Sedangkan dalam sengketa Tindakan faktual, dimungkinkan adanya ganti rugi yang bersifat riil, sebagaimana dalam rumusan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2019, dengan mengesampingkan norma Pasal 3 PP No. 43/1991. Permasalahannya, apakah badan tata usaha negara yang berkewajiban membayar ganti rugi riil sesuai putusan pengadilan mau mengesampingkan norma Pasal 3 PP No. 43/1991? Dahulu ketika sengketa Tindakan Faktual diselesaikan di peradilan umum tidak ada Batasan ganti rugi, sehingga pembatasan jumlah ganti rugi ini tentu sangat signifikan.

  1. B.Perluasan Kewenangan di luar Undang-Undang Administrasi Pemerintahan

Selain perluasan kewenangan absolut di dalam UU AP sebagaimana telah dijelaskan di atas, perluasan kewenangan peradilan tata usaha negara juga diperluas melalui beberapa undang-undang sektoral. Berikut adalah perluasan kewenangan absolut yang dimaksud:

  1. Kewenangan absolut mengadili sengketa informasi publik jika termohon informasinya adalah badan publik negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif) menurut Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sebelum terbitnya UU AP pada 17 Oktober 2014, Peradilan tata usaha negara tidak berwenang mengadili Tindakan faktual, tetapi dengan adanya UU KIP ini, peradilan tata usaha negara diberi kewenangan absolut mengadili sengketa atas Tindakan faktual berupa informasi publik;
  2. Kewenangan absolut mengadili sengketa penetapan lokasi pengadaan tanah menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Sebelum terbitnya UU AP pada 17 Oktober 2014, Peradilan tata usaha negara tidak berwenang mengadili Keputusan yang berlaku bagi warga Masyarakat (berentang umum), tetapi dengan adanya UU ini, peradilan tata usaha negara diberi kewenangan absolut mengadili sengketa atas penetapan lokasi pengadaan tanah yang merupakan Keputusan yang bersifat umum.

Permasalahannya, perluasan sengketa di luar UU AP ini tidak dibarengi dengan perubahan norma di dalam UU No. 5 Tahun 1986 dan perubahan-perubahannya. Sehingga permasalahannya adalah sebagai berikut:

  1. Dalam sengketa KIP, tenggang waktu pengajuan gugatan berbeda dari ketentuan Pasal 55 UU No. 5/1986 (90 hari sejak Keputusan diterima/diumumkan), yakni sesuai Pasal 48 ayat (1) UU KIP hanya 14 hari kerja sejak diterimanya putusan Komisi Informasi. Selain itu permasalahan lain muncul pada jenis acara yang berlaku pada sengketa KIP yakni acara sederhana, yang memungkinkan hakim memutus sengketa tanpa membuka sidang jawab-jinawab dan pembuktian sesuai Pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan, yang mana hal ini tidak dikenal dalam UU No. 5/1986 dan perubahan-perubahannya. Masalah juga terjadi dengan diberikannya kewenangan “fiat eksekusi” kepada ketua pengadilan tata usaha negara atas putusan komisi informasi di dalam PERMA No. 2/2011, yang mana hal ini tidak dikenal dalam UU No. 5/1986 dan perubahan-perubahannya. Selain itu juga tidak ada tahapan dismissal proses atau rapat permusyawaratan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 62 UU No. 5/1986;
  2. Dalam sengketa penetapan lokasi pengadaan tanah, tenggang waktu pengajuan gugatan berbeda dari ketentuan Pasal 55 UU No. 5/1986 (90 hari sejak Keputusan diterima/diumumkan), yakni sesuai Pasal 23 ayat (1) UU 2/2012 paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan lokasi. Selain itu permasalahan lain muncul pada tenggang waktu bagi pengadilan untuk memutus perkara yakni paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya gugatan, sehingga dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada Peradilan Tata Usaha Negara tidak ada tahapan dismissal proses atau rapat permusyawaratan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 62 UU No. 5/1986 serta tidak ada pemeriksaan persiapan oleh majelis hakim (karena diperiksa bukan oleh hakim Tunggal) sesuai Pasal 63 UU No. 5/1986.

  1. II.HUKUM ACARA KHUSUS BAGI SENGKETA TATA USAHA NEGARA KHUSUS

Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, ada beberapa jenis sengketa tata usaha negara yang memiliki hukum acara khusus yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Padahal jelas di dalam Pasal 24A ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa hukum acara Mahkamah Agung dan Badan-badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. Sehingga Peraturan Mahkamah Agung hanya bisa mengatur hukum acara bagi peradilan tata usaha negara jika undang-undang mendelegasikannya kepada Peraturan Mahkamah Agung. Saat ini “payung” bagi Peraturan Mahkamah Agung untuk mengatur hukum acara adalah Pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, padahal UU tersebut hanya mengatur bagi hukum acara di Mahkamah Agung, bukan bagi hukum acara peradilan di bawah Mahkamah Agung. Namun sesuai asas praduga keabsahan (presumption justae causa) maka PERMA-PERMA ini tetap sah sampai dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Berikut adalah daftar peraturan mahkamah agung yang mengatur hukum acara khusus bagi sengketa khusus di badan peradilan tata usaha negara:

  1. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan;
  2. Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang;
  3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada Peradilan Tata Usaha Negara;
  4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan dan Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan;
  5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Setidaknya ada empat karakter yang membedakan antara hukum acara di dalam peraturan-peraturan mahkamah agung tersebut dengan hukum acara yang diatur dalam UU No. 5/1986 beserta perubahan-perubahannya terutama terkait kecepatan penyelesaian sengketa dibandingkan sengketa-sengketa tata usaha negara pada umumnya:

  1. Pemeriksaan sengketa TUN khusus dalam hukum acara khusus ini dilakukan tanpa adanya Proses Dismissal (Pasal 62 UU No. 5/1986) dan tanpa Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 UU No. 5/1986);
  2. Tenggang waktu menggugat (daluwarsa gugatan) yang berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 55 UU No. 5/1986 yakni 90 (Sembilan puluh) hari sejak diterima atau diumumkannya Keputusan, sedangkan dalam hukum acara khusus ini biasanya ditentukan kurang dari 90 hari;
  3. Jangka waktu pemeriksaan persidangan atau penyelesaian sengketanya terbatas ditentukan oleh undang-undang yang mengaturnya. Biasanya ditentukan singkat hanya dalam hitungan beberapa hari. Sedangkan dalam oleh UU No. 5/1986 dan perubahannya tidak diatur; dan
  4. Upaya Hukum yang tersedia tidaklah sama dengan Upaya Hukum pada sengketa TUN biasa (Banding dan/atau Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Ada sengketa khusus yang bahkan tidak dapat diajukan upaya hukum apa pun atas putusan pengadilan tingkat pertama, misalnya sengketa proses pemilihan umum.

  1. III.ADMINISTRASI PERKARA DAN PERSIDANGAN ELEKTRONIK DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
    1. A.Kewenangan Pembentukan PERMA Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan

Salah satu isu kontemporer yang berkembang saat ini pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung adalah administrasi perkara dan persidangan elektronik di pengadilan. Saat ini hal tersebut diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Elektronik di Pengadilan sebagaimana diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 7 tahun 2022 Tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Elektronik di Pengadilan, yang ruang lingkupnya mencakup peradilan tata usaha negara. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa hukum acara badan peradilan di bawah Mahkamah Agung menurut Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 harus diatur dengan undang-undang. Sehingga jika undang-undang mendelegasikan pengaturan mengenai hukum acara kepada Mahkamah Agung barulah Mahkamah Agung berwenang mengatur hukum acara bagi badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Permasalahannya, di dalam undang-undang yang mengatur hukum acara, in casu Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak memberikan delegasi kepada Mahkamah Agung. Sehingga secara kewenangan, pembentukan PERMA No. 1 tahun 2019 dan PERMA No. 7 tahun 2022 ini keliru karena tidak berdasarkan delegasi dari undang-undang yang mengatur hukum acara badan peradilan di bawah Mahkamah Agung sesuai Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Namun sesuai asas praduga keabsahan (presumption justae causa) maka PERMA-PERMA ini tetap sah sampai dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

  1. B.Substansi PERMA Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan

Selain masalah mengenai kewenangan pembentukan PERMA, administrasi perkara dan persidangan secara elektronik ini juga memiliki beberapa permasalahan substansial, di antaranya:

  1. Persidangan elektronik melalui aplikasi e-court bertentangan dengan Asas Sidang Terbuka Untuk umum yang diatur dalam Pasal 70 Jo. Pasal 108 UU No. 5/1986. Bahkan akibat hukum dari putusan hakim yang tidak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum adalah putusannya dianggap tidak sah. Meski pun persidangan melalui e-court dianggap sebagai sidang terbuka untuk umum, tetapi secara faktual tidak ada persidangan yang digelar oleh hakim secara fisik;
  2. Pasal 22 ayat (4) PERMA 7/2022 mengatur bahwa Para pihak yang tidak menyarnpaikan Dokumen Elektronik atau dokumen cetak bagi Tergugat yang tidak menyetujui Persidangan secara Elektronik sesuai dengan jadwal dan acara persidangan tanpa alasan yang sah dan patut berdasarkan penilaian Majelis Hakim/Hakim dianggap tidak menggunakan haknya. Sedangkan dalam Pasal 72 UU No. 5/1986 mengatur adanya panggilan kepada tergugat secara hierarkis apabila Tergugat tidak hadir pada sidang pertama. Meski pun dalam petunjuk teknisnya (juknis) yakni Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 363/KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan dijelaskan bahwa dalam sengketa tata usaha negara digunakan ketentuan Pasal 72 UU No. 5/1986, tetapi hal ini tidak diatur dalam PERMA;
  3. Pasal 65 UU No. 5/1986 mengatur bahwa panggilan pengadilan baru sah apabila dilakukan dengan surat tercatat. Surat Tercatat adalah surat yang dialamatkan kepada penerima dan dapat dibuktikan dengan tanda terima dari penerima dengan menyebutkan tanggal penerimaan. Sedangkan dalam PERMA No. 1/2019 Jo. PERMA No. 7/2022 panggilan dilaksanakan secara elektronik melalui domisili elektronik.

  1. IV.PERMASALAHAN KEWAJIBAN MENEMPUH UPAYA ADMINISTRATIF SEBELUM MENGAJUKAN GUGATAN
    1. A.Kewajiban Menempuh Upaya Administratif

Pada dasarnya, menurut Pasal 48 ayat (1) UU No. 5/1986 kewajiban menempuh Upaya administratif sebelum mengajukan gugatan di Pengadilan hanya ada jika diatur mengenai kewenangan pejabat/badan untuk menyelesaikan sengketa melalui Upaya administratif dalam peraturan perundang-undangan saja. Namun sejak diundangkannya UU AP maka semua sengketa tata usaha negara diselesaikan melalui Upaya administratif terlebih dahulu yang terdiri dari keberatan dan banding administratif (Pasal 75 UU AP). Barulah setelah hasil banding administratif diterima, jika warga Masyarakat tetap menolak hasilnya maka ia dapat mengajukan gugatan di pengadilan (Pasal 76 ayat (3) UU AP). Masalahnya, selain mengenai aspek kewajiban Upaya administratif, ada pula perbedaan mengenai forum pengadilan Tingkat pertama yang diatur dalam UU AP dan UU No. 5/1986. Dalam Pasal 1 angka 18 UU AP pengadilan adalah pengadilan tata usaha negara, sehingga setelah menempuh Upaya administratif, warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai Tingkat pertama. Berbeda dengan ketentuan Pasal 51 ayat (3) UU No. 5/1986 yang mengatur setelah menempuh Upaya administratif, warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Tingkat pertama. Sehingga jelas ada antinomi antara UU AP dan UU No. 5/1986 dalam konteks forum pengadilan setelah ditempuhnya Upaya administratif.

Permasalahan lain terjadi pasca pengaturan Upaya administratif di UU AP adalah mengenai forum Upaya administratif selain keberatan dan banding administratif di dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Misalnya dalam sengketa pengadaan barang dan jasa, terdapat forum sanggah dan sanggah banding dalam Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang jelas-jelas berbeda dengan keberatan dan banding administratif dalam UU AP karena sanggah banding hanya ada untuk sengketa jasa konstruksi saja (vide Pasal 50 ayat (2) Perpres No. 16/2018). Jika menggunakan preferensi hukum, maka undang-undang harus mengesampingkan peraturan presiden (asas lex superior derogat legi inferior) karena secara hierarkis undang-undang lebih tinggi dari peraturan presiden (vide Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Contoh lain adalah keberatan dan banding administratif pada sengketa kepegawaian aparatur sipil negara dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2021 Tentang Upaya Administratif dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) yang mengatur bahwa tenggang waktu pengajuan keberatan hanya 14 hari kerja sejak diterimanya Keputusan, bukan 21 hari kerja sebagaimana diatur Pasal 77 UU AP, dan juga banding administratif di BPASN hanya berlaku bagi sengketa pemberhentian pegawai negeri sipil dan pemutusan hubungan perjanjian kerja pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja saja, berbeda dengan UU AP yang mewajibkan keberatan dan banding administratif. Namun pada praktiknya yang digunakan tetap Upaya administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sesuai Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif.

  1. B.Perhitungan Tenggang Waktu Pengajuan Upaya Administratif

UU AP mengatur bahwa Upaya administratif berupa keberatan kepada pejabat/badan diajukan paling lambat 21 hari kerja sejak Keputusan diumumkan (Pasal 77 ayat (1) UU AP), dan banding administratif kepada atasan pejabat diajukan paling lambat 10 hari kerja sejak Keputusan keberatan diterima oleh warga Masyarakat (Pasal 78 ayat (1) UU AP). Permasalahan tenggang waktu ini muncul ketika UU AP menggunakan acuan perhitungan sejak Keputusan diumumkan pada Upaya keberatan, karena tidak semua Keputusan diumumkan oleh pejabat/badan pemerintahan. Ada banyak Keputusan yang hanya disampaikan tanpa diumumkan, apalagi jika Keputusan itu tidak berbentuk elektronis. Akhirnya pada praktiknya hakim akan menggunakan penafsiran ekstensif yakni keberatan diajukan paling lambat 21 hari kerja sejak Keputusan diterima/diumumkan/diketahui (verneemingstheorie). Selain itu Pasal 77 dan 78 UU AP juga tidak mengatur Upaya administratif untuk sengketa Tindakan meski pun Pasal 75 UU AP mengatur bahwa sengketa Tindakan dapat diajukan keberatan dan banding adminsitratif.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Upaya administratif selain UU AP mengatur tenggang waktu pengajuan Upaya administratif yang berbeda dari UU AP. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya pada Pasal 4 dan Pasal 7 PP No. 79/2021 keberatan diajukan paling lambat 14 hari kerja sejak Keputusan diterima, sedangkan banding administratif pada Pasal 11 PP No. 79/2021 diajukan paling lambat 14 hari kerja sejak Keputusan diterima.

Tenggang waktu ini penting untuk dibahas terkait dengan kewenangan pengadilan. Apakah Keputusan/Tindakan masih bisa diajukan gugatan di Pengadilan jika Upaya administratif diajukan melebihi batas waktu yang diatur peraturan perundang-undangan? Kemudian jika Upaya administratif diajukan secara prematur, misalnya saat Keputusan belum diterima/diumumkan, apakah pengadilan telah berwenang mengadili sengketa tersebut ketika Upaya administratif telah selesai ditempuh secara lengkap? Undang-Undang tidak mengatur mengenai dua hal ini.

  1. C.Upaya Administratif yang Tidak Diselesaikan

Beberapa peraturan perundang-undangan mengatur berbeda dari UU AP mengenai akibat hukum jika Upaya administratif tidak diselesaikan pada waktunya. Misalnya, dalam Pasal 5 ayat (3) dan 8 ayat (7) PP No. 79/2021 apabila keberatan tidak diselesaikan dalam 21 hari kerja maka gugatan ke pengadilan sudah dapat diajukan. Sedangkan dalam UU AP, misalnya dalam Pasal 77 ayat (5) UU AP apabila keberatan tidak diselesaikan dalam 10 hari kerja maka keberatan dianggap dikabulkan. Begitu pula dalam Pasal 78 ayat (5) UU AP apabila banding administratif tidak diselesaikan dalam 10 hari kerja maka banding administratif dianggap dikabulkan. Hal ini menimbulkan praktik yang berbeda dari pengaturan normatif.

Pada praktiknya, apabila keberatan atau banding administratif menurut UU AP tidak diselesaikan dalam waktu yang ditetapkan dalam Pasal 77 atau 78 UU AP maka pengadilan membolehkan warga Masyarakat mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Setidaknya 80% perkara di PTUN adalah perkara semacam ini. Padahal jika mengacu pada norma dalam UU AP mestinya keberatan atau banding adminsitratif yang dianggap dikabulkan tidak bisa lagi diajukan gugatan karena sudah dianggap dikabulkan (tidak ada kepentingan proses lagi), dan warga Masyarakat cukup menunggu 5 hari kerja agar ditindaklanjuti. Apabila tidak ditindaklanjuti maka sesuai Pasal 80 UU AP pejabat yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi adminstratif ringan. Permasalahannya norma Pasal 77 dan 78 Jo. Pasal 80 UU AP mengenai sanksi administratif dan tindak lanjut Upaya administratif ini adalah norma yang mati (tidak berjalan), sehingga praktik peradilan semacam ini patut dimaklumi.

  1. V.PERMASALAHAN TEKNIS DALAM UU NO. 5/1986 DAN PERUBAHANNYA
    1. A.Badan/Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat

Pasal 1 angka 12 UU No. 51/2009 mengatur definisi Tergugat sebagai pejabat atau badan tata usaha negara yang menerbitkan Keputusan tata usaha negara yang digugat berdasarkan kewenangan yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Dari definisi ini muncul dua pertanyaan: 1.) Apakah pihak swasta yang menjalankan urusan pemerintahan bisa digugat setelah terbitnya UU AP?; dan 2.) Apabila Tergugat merupakan badan/pejabat ad hoc siapa yang akan didudukkan sebagai tergugat di pengadilan? Kedua pertanyaan ini belum pernah dijawab dalam rumusan SEMA mau pun Buku II Mahkamah Agung. Berikut penjelasannya:

  1. Pasal 1 angka 3 UU AP Jo. Pasal 175 angka 1 UU Cipta Kerja mendefinisikan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Artinya pejabat atau badan pemerintahan menurut UU AP adalah organ negara, dan tidak termasuk pihak swasta meski pun pihak swasta tersebut menjalankan fungsi pemerintahan. Ini berbeda dari definisi dalam Pasal 1 angka 8 UU PERATUN yang mendefinisikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. Pejabat atau Badan Ad hoc ini seringkali muncul dalam sektor tertentu, misalnya pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan oleh Panitia atau Kelompok Kerja menurut Perpres 16/2018, kemudian pelaksanaan pemilihan kepala desa oleh Panitia Pemilihan sesuai Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Jika Keputusan/Tindakan dari jabatan ad hoc ini digugat sedangkan masa kerjanya sudah usai maka siapakah yang akan didudukkan sebagai Tergugat?

  1. B.Permasalahan Identitas Tergugat: Nama, Jabatan atau Nama Jabatan?

Pasal 56 ayat (1) huruf b UU No. 5/1986 mengatur bahwa identitas Tergugat di dalam gugatan setidaknya memuat nama, jabatan dan tempat kedudukan Tergugat. Permasalahannya, dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 51/2009 (perubahan kedua UU No. 5/1986) tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara, bukan perorangan, sehingga tidak relevan jika identitas Tergugat berisi nama pejabat yang digugat. Oleh karena itu dalam praktiknya, identitas tergugat hanya berisi Jabatan dan Tempat Kedudukan Tergugat saja tanpa menyebut nama, meski pun hal ini diwajibkan dalam Pasal 56 UU No. 5/1986.

  1. C.Perhitungan Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan

Pasal 55 UU No. 5/1986 jelas mengatur tenggang waktu mengajukan gugatan di pengadilan adalah 90 hari sejak diterima atau diumumkannya Keputusan. Permasalahannya adalah apabila sebelum mengajukan gugatan diwajibkan menempuh Upaya administratif terlebih dahulu, tenggang waktu ini dikesampingkan oleh Pasal 5 ayat (1) PERMA No. 6/2018 yang mengatur tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 90 hari kerja sejak diterima/diumumkannya Keputusan hasil Upaya administratif. Secara normatif jelas hal ini merupakan antinomi antara Pasal 55 UU No. 5/1986 dengan Pasal 5 ayat (1) PERMA No. 6/2018.

Selain adanya permasalahan perbedaan perhitungan waktu ada pula masalah tenggang waktu untuk gugatan ulang setelah gugatan dinyatakan tidak lolos dismissal (Pasal 62 ayat (6) UU No. 5/1986) dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima dalam pemeriksaan persiapan (Pasal 63 ayat (4) UU No. 5/1986). Secara praktik di pengadilan tenggang waktu untuk gugatan ulang semacam ini dibantarkan sampai putusan/penetapan dismissal diterima sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991. Namun undang-undang tidak mengatur hal ini.

Selanjutnya masalah Perhitungan Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan juga timbul untuk Sengketa Tindakan Administrasi Pemerintahan. UU No. 5/1986 tidak mengatur mengenai tenggang waktu untuk pengajuan gugatan sengketa Tindakan karena sengketa ini merupakan perluasan di luar UU No. 5/1986, yakni melalui UU AP, sedangkan UU AP tidak mengatur khusus ketentuan mengenai Perhitungan Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan sengketa Tindakan. PERMA No. 2/2019 mengatur tenggang waktu mengajukan gugatan bagi sengketa Tindakan adalah 90 hari kerja sejak dilakukannya Tindakan dan tenggang waktu ini dibantarkan sampai hasil Upaya administratifnya diterima/diumumkan. Permasalahan atas pengaturan ini adalah:

  1. UU mengatur perhitungan waktu menggunakan hari (kalender) sedangkan PERMA No. 2/2019 menggunakan hari kerja;
  2. PERMA No. 2/2019 hanya mengatur tenggang waktu gugatan untuk sengketa mengenai Tindakan berupa melakukan perbuatan konkret sehingga frasa yang digunakan adalah sejak Tindakan dilakukan. Sedangkan untuk Tindakan berupa tidak melakukan perbuatan konkret tidak diatur.

  1. D.Rapat Permusyawaratan/Dismissal Proses
    1. 1.Apa yang dimaksud Rapat Permusyawaratan oleh Ketua Pengadilan?

Pasal 62 ayat (1) UU No. 5/1986 mengatur mengenai rapat permusyawaratan oleh ketua pengadilan untuk memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar. Permasalahannya undang-undang tidak menjelaskan apa maksud dari rapat permusyawaratan, dengan siapa rapat tersebut dilakukan, dan bagaimana tata caranya. SEMA No. 2/1991 mau pun Buku II Mahkamah Agung juga tidak menjelaskan dengan siapa rapat tersebut dilakukan, hanya saja diamanatkan agar ditunjuk hakim raportir. Bahkan istilah dismissal proses pun tidak ada dalam undang-undang, melainkan hanya berupa interpretasi saja atas Pasal 62 ayat (1) UU No. 5/1986 di dalam SEMA No. 2/1991. Pada praktiknya tidak pernah dilakukan rapat permusyawaratan untuk menetapkan dismissal, melainkan ketua pengadilan hanya menetapkan dismissal melalui penetapan ketua pengadilan saja. Bahkan dalam SEMA No. 2/1991 dimungkinkan “dismissal sebagian” yakni dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka dimungkinkan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut.

  1. 2.Apa yang dimaksud Acara Singkat dalam Upaya Perlawanan atas Penetapan Dismissal Proses?

Pasal 62 ayat (3) huruf a dan b dan ayat (4) UU No. 5/1986 mengatur mengenai perlawanan atas penetapan dismissal ketua pengadilan, yakni dengan bentuk gugatan seperti diatur Pasal 56 UU No. 5/1986 yang diperiksa dengan acara singkat. Permasalahannya undang-undang tidak menjelaskan apa maksud dari acara singkat, mau pun siapa yang menjadi Tergugat dalam perlawanan atas penetapan dismissal ini. SEMA No. 2/1991 mau pun Buku II Mahkamah Agung tidak menjelaskan juga mengenai kedua hal ini, hanya saja di dalam Buku II Mahkamah Agung terdapat petunjuk bahwa dalam pemeriksaan perkara perlawanan tidak perlu dibuka agenda pemeriksaan bukti. Mengenai siapa yang menjadi Tergugat dalam Perlawanan, pada praktiknya di awal masa berdirinya peradilan tata usaha negara, yang menjadi Tergugat adalah ketua Pengadilan. Namun seiring berjalan waktu yang menjadi Tergugat dalam perlawanan dismissal tetaplah tergugat asal.

  1. E.Permasalahan Pada Pemeriksaan Persiapan
    1. 1.Acuan Perhitungan Tenggang Waktu Perbaikan Gugatan dalam Pemeriksaan Persiapan

Pasal 63 huruf a UU No. 5/1986 mengatur dalam pemeriksaan persiapan Hakim “wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari”. Namun undang-undang tidak mengatur mengenai acuan jangka waktu tiga puluh hari tersebut, apakah dihitung sejak gugatan didaftarkan di Pengadilan, atau sejak hari pemeriksaan persiapan pertama? Pada praktiknya hakim menggunakan acuan jangka waktu tiga puluh hari sejak hari pemeriksaan persiapan pertama.

  1. 2.Apakah Pemeriksaan Persiapan adalah Sidang?

Undang-undang tidak menjelaskan apakah pemeriksaan persiapan merupakan sidang atau bukan sehingga hal ini berpengaruh kepada terminologi “persidangan” dalam undang-undang. Misalnya ketentuan tentang kehadiran pihak penggugat (Pasal 71 UU No. 5/1986) dan kehadiran pihak tergugat (Pasal 72 UU No. 5/1986) dalam sidang pertama. Jika pemeriksaan persiapan dianggap sebagai sidang maka apabila penggugat tidak hadir pemeriksaan persiapan pertama akan berlaku Pasal 71 UU No. 5/1986 sehingga gugatan dinyatakan gugur, dan apabila tergugat tidak hadir pemeriksaan persiapan akan berlaku Pasal 72 UU No. 5/1986 sehingga berlaku pemanggilan hierarkis. Pada faktanya baik SEMA No. 2/1991 mau pun Buku II Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemeriksaan persiapan bukanlah persidangan yang bahkan dilakukan oleh hakim tanpa menggunakan toga. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Konstitusi sebagai perbandingan, yang menganggap pemeriksaan pendahuluan sebagai persidangan sehingga hakim yang ditunjuk sebagai panel akan mengenakan toga sidang.

  1. 3.Apakah Pemeriksaan Persiapan Harus Tertutup?

Undang-undang juga tidak menjelaskan apakah pemeriksaan persiapan bersifat terbuka atau tertutup untuk umum karena ia tidak menjelaskan apakah pemeriksaan persiapan merupakan sidang atau bukan. Hal ini juga memiliki akibat hukum yang signifikan. Misalnya ketentuan tentang persidangan harus terbuka untuk umum kecuali untuk alasan kesusilaan dan keselamatan negara sesuai Pasal 70 Jo. Pasal 108 UU No. 5/1986. Bahkan akibat hukum dari sidang yang tidak dilakukan dengan terbuka untuk umum adalah putusannya dianggap batal demi hukum sesuai Pasal 70 ayat (3) UU No. 5/1986. Pada faktanya SEMA No. 2/1991 berpendapat bahwa pemeriksaan persiapan dilakukan secara tertutup untuk umum. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Konstitusi sebagai perbandingan, yang menganggap pemeriksaan pendahuluan sebagai persidangan sehingga hakim yang ditunjuk sebagai panel akan membuka sidang pemeriksaan pendahuluan secara terbuka untuk umum.

  1. F.Ketidakhadiran Penggugat di hari Sidang Selain Sidang Pertama

Pasal 71 UU No. 5/1986 hanya mengatur mengenai ketidakhadiran pihak penggugat di sidang pertama dan akibat hukumnya yakni berupa gugatan gugur. Namun undang-undang tidak mengatur mengenai akibat hukum jika penggugat tidak hadir dalam sidang lanjutan setelah sidang pertama secara berturut-turut. Hal ini menimbulkan masalah mengingat pemeriksaan perkara tidak bisa dilanjutkan tanpa kehadiran penggugat. Berbeda dengan Pasal 72 ayat (2) UU No. 5/1986 yang mengatur pemeriksaan perkara dilanjutkan tanpa kehadiran tergugat, karena kepentingan untuk membatalkan objek sengketa ada pada penggugat. Hal ini bisa berpotensi menimbulkan gugatan-gugatan yang beritikad buruk hanya untuk mengganggu jalannya pemerintahan saja tanpa ada proses yang jelas.

  1. G.Syarat Penundaan Pelaksanaan Keputusan dalam UU No. 5/1986 vs UU AP

Dalam hukum administrasi dikenal asas praduga keabsahan (presumptio justae causa atau vermoeden van rechtmatigheid). Sehingga suatu keputusan dan/atau tindakan yang digugat di pengadilan tetap berlaku sampai dibuktikan sebaliknya. Sehingga dengan diajukannya gugatan terhadap Keputusan tidak menghalangi dilaksanakannya isi Keputusan. Pasal 67 ayat (4) UU No. 5/1986 mengatur mengenai syarat penundaan pelaksanaan Keputusan yakni “hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan, dan tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut”. Sedangkan dalam Pasal 67 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1986 ini bertentangan dengan syarat penundaan pelaksanaan Keputusan yang diatur Pasal 65 UU AP:

Pasal 65 ayat (1) UU AP:

Keputusan yang sudah ditetapkan tidak dapat ditunda pelaksanaannya, kecuali jika berpotensi menimbulkan:

a. kerugian negara;

b. kerusakan lingkungan hidup; dan/atau

c. konflik sosial

Antara kedua Pasal tersebut jelas bertentangan (Antinomi). Di satu sisi, Pasal 67 ayat (4) UU No. 5/1986 menyatakan Keputusan tidak dapat ditunda jika berkaitan dengan kepentingan umum (algemene belang), di sisi lain Pasal 65 UU AP menyatakan Keputusan hanya dapat ditunda jika berpotensi menimbulkan kerugian Negara, kerusakan lingkungan hidup dan/atau konflik sosial yang mana ketiganya merupakan Kepentingan Umum (algemene belang), bukan individual (individuele belang). Oleh karena itu perlu penyelarasan antara UU No. 5/1986 dan perubahannya selaku hukum formil dengan UU AP selaku hukum materil.

  1. H.Pemeriksaan Setempat

Undang-undang tidak mengatur mengenai pemeriksaan setempat (plaatsonderzoek) sebagai bagian dari hukum acara peradilan tata usaha negara. Pelaksanaan pemeriksaan setempat saat ini hanya mengacu pada kebiasaan hakim yang diadopsi dari hukum acara perdata di Het Herziene Inlands Reglement dan Reglement op de Buitengewesten saja. Dengan demikian hal ini menjadi problem karena pemeriksaan setempat dilaksanakan secara praktik tetapi tidak diatur dalam undang-undang hukum acara.

  1. I.Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa terdapat antinomi mengenai kewenangan mengadili pada tingkat pertama untuk sengketa tata usaha negara setelah menempuh upaya administratif antara Pasal 51 ayat (3) UU No. 5/1986 dengan Pasal 1 angka 8 Jo. Pasal 76 ayat (3) UU AP. Di dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5/1986 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama dalam hal sengketa tata usaha negara diselesaikan terlebih dahulu melalui Upaya administratif. Sedangkan Pasal 1 angka 8 Jo. Pasal 76 ayat (3) UU AP mengatur Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama dalam hal sengketa tata usaha negara diselesaikan terlebih dahulu melalui Upaya administratif. SEMA No. 2 Tahun 2019 memberi petunjuk rumusan kewenangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama yakni dalam hal:

a) Peraturan dasar mengatur mengenai upaya administratif berupa banding administratif.

b) Peraturan dasar mengatur secara eksplisit Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berwenang mengadili.

Rumusan huruf a tersebut sama dengan rumusan dalam SEMA No. 2/1991 yakni apabila dalam peraturan dasar sengketa tata usaha negara tersebut diatur adanya banding administratif maka Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama.

  1. J.Permasalahan Eksekusi Putusan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap

Sudah merupakan rahasia umum bahwa putusan peradilan tata usaha negara dianggap seperti macan ompong karena seringkali tidak dilaksanakan oleh pejabat/badan pemerintahan selaku pihak yang dibebani kewajiban melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Saat ini eksekusi atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap diatur dalam Pasal 116 UU No. 51/2009. Pada faktanya pengaturan ini tidak juga memacu badan/pejabat pemerintahan untuk melaksanakan putusan pengadilan. Bahkan setelah instrumen sanksi administratif ditambahkan dalam Pasal 80-84 UU AP Jo. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2016 Tentang ata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan, pelaksanaan putusan pengadilan oleh badan/pejabat pemerintahan juga masih tidak efektif.

REFERENSI:

Aditya, Zaka Firma; Muhammad Adiguna Bimasakti; dan Anna Erliyana. Hukum Administrasi Negara Kontemporer (Konsep, Teori, dan Penerapannya di Indonesia). Depok: Rajawali Pers, 2023.

Bimasakti, Muhammad Adiguna. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Oleh Pemerintah/Onrechtmatige Overheidsdaad (OOD) dari Sudut Pandang Undang-Undang Administrasi Pemerintah. Yogyakarta: Deepublish, 2018.

Bimasakti, Muhammad Adiguna dan Heru Susetyo. Aspek-Aspek Hukum dalam. Pelayanan Publik Pasca Undang-Undang Cipta Kerja. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021.

Bimasakti, Muhammad Adiguna dan Muhammad Noor Halim Perdanakusumah. Panduan Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara dan Persidangan Elektronik (Edisi Revisi). Jakarta: Kencana, 2022.

Bimasakti, Muhammad Adiguna. “Pembaruan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Reformasi Di Era Peradilan Elektronik,”. Jurnal Hukum Peratun, Vol. 3 No. 2 (2020).

Cane, Peter. Administrative Tribunals and Adjudications. Oxford and Portland: Hart Publishing, 2009.

Damen, L.J.A. et.al. Bestuusrecht, Systeem, Bevoegdheid, Bevoegdheidsuitoefening, Handhaving. Tweede druk. Den Haag: BJU Boom Juridische Uitgevers, 2005.

Ellis-Jones, Ian. Essential Administrative Law. Sydney-London: Cavendish Publishing, 2001.

Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987.

Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.

Sudarsono, et.al. Kajian Pembaruan Hukum Acara di Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Kencana, 2021.

Hubungi Kami

PTUN Mataram

Jl. Dr. Soedjono Lingkar Selatan - Mataram - Nusa Tenggara Barat (83116)

Telp. : (0370) 640680 – 623423

Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Flaticon WA  Flaticon IG  Flaticon FB   Flaticon YT

Tautan Aplikasi