KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH OTONOM MELAKUKAN PERJANJIAN KEPERDATAAN DAN BATASANNYA DALAM KERANGKA HUBUNGAN WEWENANG PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Oleh:
Muhammad Adiguna Bimasakti
(Hakim PTUN Mataram)
- A.PENDAHULUAN
- 1.Latar Belakang
Pemerintah daerah merupakan salah satu unsur penyelenggara negara dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Menurut UUD 1945, unsur pemerintah daerah ada dua yakni kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah. Ada pun satuan pemerintah daerah terdiri atas pemerintah daerah kota/kabupaten dan pemerintah daerah provinsi. Kepala daerah di kota disebut walikota, di kabupaten disebut bupati, dan di provinsi disebut gubernur. Ada beberapa pengecualian atas hal ini misalnya Provinsi Ibu Kota Nusantara menurut Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) dikepalai oleh Kepala Otorita yang kedudukannya setara menteri.
Pada dasarnya otonomi daerah adalah asas dalam pemerintahan daerah sesuai Pasal 18 UUD 1945. Meski demikian, tidak semua satuan daerah memiliki otonomi, misalnya kota-kota di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang bukan merupakan daerah otonom melainkan hanya kota administratif. Otonomi daerah bagaikan sebuah simfoni indah dalam tata kelola negara. Ia memberikan melodi merdu bagi setiap daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, selaras dengan harmoni nasional. Di balik alunan merdu tersebut, terukir makna esensial: hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengurus kepentingan masyarakatnya.
Sejak era reformasi, otonomi daerah menjadi pilar penting dalam membangun Indonesia yang maju dan sejahtera. Saat ini otonomi daerah dalam level undang-undang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang diubah terakhir dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja), mengantarkan era baru desentralisasi, di mana daerah memiliki ruang luas untuk berkreasi. Sebagai konduktor orkestra, pemerintah daerah memegang kendali utama. Mereka bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya, menyusun kebijakan, dan menjalankan pemerintahan di wilayahnya. Berbagai sektor vital, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi, menjadi fokus utama dalam simfoni pembangunan daerah. Namun, otonomi daerah bukan tanpa aransemen yang kompleks. Tantangan seperti kesenjangan antar daerah, keterbatasan sumber daya, dan kapasitas aparatur masih menjadi nada sumbang yang perlu diselaraskan. Di sinilah peran pemerintah pusat sebagai pembimbing dan pengawas, memastikan setiap daerah memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai asas tiada otonomi tanpa pengawasan (geen autonomie zonder toezicht).
Di Indonesia, otonomi daerah adalah konsep yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola urusan lokal sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakat setempat. Dalam konteks ini, pemerintah daerah memiliki otonomi dalam mengambil keputusan terkait pembangunan, pelayanan publik, serta pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi di wilayahnya. Otonomi daerah ini diperkenalkan sebagai upaya untuk memberikan kebebasan kepada daerah dalam menentukan arah pembangunan serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan lokal mereka.
Dalam kerangka otonomi daerah, pemerintah pusat memberikan tanggung jawab kepada pemerintah daerah untuk mengelola sebagian besar urusan dalam lingkup kewenangannya sendiri. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal. Dengan demikian, otonomi daerah diharapkan dapat menciptakan pemerintahan yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat.
Namun, implementasi otonomi daerah tidak selalu berjalan mulus. Terdapat berbagai tantangan yang dihadapi, seperti ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya secara efisien, kurangnya kapasitas dalam pengambilan keputusan yang strategis, serta potensi konflik kepentingan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Selain itu, adanya perbedaan kemampuan dan sumber daya antar daerah juga menjadi faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi otonomi daerah.
Meskipun demikian, otonomi daerah tetap dianggap sebagai langkah penting dalam memperkuat prinsip demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Dengan memberikan kebebasan kepada daerah dalam mengelola urusan lokal mereka sendiri, diharapkan akan tercipta sistem pemerintahan yang lebih inklusif, responsif, dan efektif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, upaya untuk terus memperbaiki implementasi otonomi daerah menjadi sebuah agenda penting dalam upaya mencapai pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia.
Pada umumnya pemerintah daerah menjalankan kewenangannya berdasarkan otonomi daerah yakni kekuasaan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Dalam hal urusan kekayaan pun, daerah otonom memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan negara, meski pun Indonesia menganut negara kesatuan (eenheidstaat). Oleh karena itu daerah otonom ini juga dianggap sebagai badan hukum tersendiri meski pun bernaung di bawah negara kesatuan, yakni sebagai badan hukum publik karena memiliki kekuasaan atau kewenangan di bidang hukum publik. Contoh badan hukum publik lain selain daerah otonom di Indonesia adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Badan hukum adalah badan yang memiliki kekayaan tersendiri yang terpisah dari subjek hukum pembuatnya. Daerah otonom memiliki kekayaan terpisah dari negara, meski pun dalam beberapa ketentuan keuangan daerah termasuk juga ke dalam keuangan negara. Namun negara tidak boleh mencampuri keuangan daerah dan sebaliknya. Wujud dari keuangan daerah adalah Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) yang ditetapkan secara bersama oleh kepala daerah dan DPRD setiap tahun melalui peraturan daerah.
Meskipun daerah otonom merupakan badan hukum publik yang memiliki kekayaan yang terpisah dari negara akan tetapi pada faktanya daerah otonom merupakan bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia dan bukan merupakan negara bagian sebagaimana dalam konsep negara federal. Oleh karena itu ada kaitan hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah dalam konteks otonomi daerah. Dalam hal ini berarti meskipun daerah otonom memiliki kewenangan untuk bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri tetapi hal tersebut tidak boleh menabrak batas-batas yang diberikan oleh hukum terkait dengan kewenangan pemerintah pusat.
Pemerintah daerah yang bersifat otonom yang memiliki status badan hukum tentunya memiliki kewenangan untuk bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dalam konteks ini berarti apakah pemerintah daerah otonom juga berwenang untuk mengadakan kontrak atau perjanjian perdata dengan pihak lain sebagaimana badan hukum pada umumnya? Lalu jika pemerintah daerah otonom bisa melakukan perjanjian perdata dengan pihak lain sampai batas manakah perjanjian yang dimaksud, apabila dikaitkan dengan kekuasaan pemerintahan pusat?
- 2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
- Apakah pemerintah daerah otonom berwenang untuk mengadakan kontrak atau perjanjian perdata dengan pihak lain?
- Bagaimana batasan kewenangan pemerintah daerah otonom dalam perjanjian perdata?
- B.PEMBAHASAN
- 1.Kewenangan Pemerintah Daerah Otonom Melakukan Perjanjian Keperdataan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya pemerintah daerah otonom menjalankan kewenangan pemerintahan di daerah berdasarkan asas otonomi daerah. Bagaimana menjelaskan bahwa kewenangan tersebut bukan hanya berdasarkan penyebaran kekuasaan melainkan juga berdasarkan pemisahan kekuasaan antara pusat dan daerah. Dengan demikian dari segi hukum kekayaan dan juga otonomi maka daerah otonom dapat dikatakan memiliki status sebagai badan hukum publik. Sebab secara keuangan daerah otonom telah memiliki keuangan yang terpisah dari keuangan negara. Hal ini terbukti dari adanya pemisahan antara anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Pertanyaannya adalah apakah badan hukum publik dapat mengadakan perjanjian keperdataan sebagaimana badan hukum perdata?
Sumber hukum perjanjian keperdataan di Indonesia saat ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau disingkat KUH Perdata (Burgerlijke Wetboek). Pada dasarnya menurut kitab undang-undang hukum perdata tidak dibedakan apakah suatu badan hukum berstatus sebagai badan hukum publik ataupun badan hukum perdata. Sehingga baik badan hukum yang berstatus badan hukum publik yang menjalankan fungsi hukum publik maupun badan hukum perdata yang menjalankan lalu lintas hukum perdata sama-sama bisa menjalankan fungsi di bidang hukum publik maupun hukum perdata. Sebagai contoh banyak badan hukum perdata yang diberikan kewenangan sebagaimana badan hukum publik untuk melaksanakan tugas dalam hukum publik seperti kampus swasta atau sekolah swasta. Sebaliknya pula badan hukum publik yang mengemban tugas hukum publik dapat menjalankan lalu lintas di bidang hukum perdata apabila terkait dengan pengelolaan harta kekayaan. Sebab sebagaimana badan hukum perdata, badan hukum publik juga memiliki harta kekayaan tersendiri yang menyebabkan badan hukum publik tersebut berstatus sebagai badan hukum. Dengan demikian badan hukum publik dapat melakukan perjanjian kemerdekaan. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori dwifungsi/dual function dari badan hukum publik, yakni badan hukum publik dapat dipandang sebagai badan hukum perdata apabila bertindak untuk kepentingan harta kekayaannya.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas jelas bahwa objek perjanjian dalam hukum perdata adalah harta kekayaan. Dengan demikian apabila objek perjanjian dari suatu perjanjian bukan terkait dengan harta kekayaan maka perjanjian tersebut bukanlah merupakan perjanjian di bidang hukum perdata dan tidak berharga secara hukum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Jo. Pasal 1332 Jo. Pasal 499 KUH Perdata yang mengatur salah satu syarat sah perjanjian adalah suatu hal atau objek perjanjian yang harus tertentu yakni merupakan kebendaan. Sesuai Pasal 1332 KUH Perdata hanya benda yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian, sehingga benda publik yang merupakan benda yang tidak bisa dijual-belikan (ex-commercium) tidak bisa menjadi pokok perjanjian dalam hukum perdata.
Menurut Pasal 499 KUH Perdata benda adalah segala sesuatu yang dapat didekati hak milik atau eigendom. Dengan demikian benda-benda yang tidak bisa dilengkapi dengan eigendom bukanlah benda menurut KUH Perdata dan tidak tunduk kepada hukum perdata. Sebagai contoh benda wakaf dan benda publik lainnya merupakan benda yang tunduk pada hukum publik bukan hukum perdata. Benda-benda publik tersebut tidak bisa dialihkan atau dialisi sehingga tidak tunduk pada hukum perdata melainkan tunduk pada rezim hukum khusus. Maksud dari rezim hukum khusus adalah secara umum benda publik tunduk pada hukum publik tetapi dalam hal mempertahankan benda publik dapat menggunakan instrumen hukum keperdataan seperti gugatan di hadapan Hakim perdata. Namun secara umum pengelolaan benda publik tunduk kepada hukum publik bukan hukum perdata. Misalnya pinjam meminjam benda publik atau perizinan penggunaan benda publik tunduk kepada hukum publik bukan hukum perdata.
Jika objek perjanjiannya adalah benda publik misalnya sumber daya alam atau tanah maka ia tunduk kepada rezim hukum publik sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: Bumi dan air dan apa yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selain itu benda publik lainnya adalah fasilitas umum. Meskipun fasilitas umum memiliki status sebagai barang milik negara atau barang milik daerah tetapi peruntukannya adalah untuk publik digunakan secara bebas. Dengan demikian fasilitas umum tidak bisa dialihkan atau di alienasi sesuai instrumen hukum perdata kecuali statusnya sebagai fasilitas umum telah dicabut karena penggunaannya sudah tidak dimungkinkan seperti kursi atau meja fasilitas umum yang sudah terlalu tua.
Berdasarkan pembahasan di atas jelas bahwa daerah otonom selaku badan hukum publik dapat bertindak di bidang hukum perdata berupa perjanjian keperdataan. Adapun maksud dari perjanjian keperdataan adalah perjanjian yang objeknya merupakan benda menurut hukum perdata yakni harta kekayaan milik dari subjek hukum. Misalnya contoh pengadaan barang atau jasa pemerintah yang objeknya merupakan barang atau jasa milik pihak non pemerintah yang dibutuhkan oleh pemerintah. Adapun hasil dari pengadaan barang atau jasa tersebut akan menjadi milik pemerintah sepenuhnya. Secara umum bentuk perjanjian keperdataan yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah otonom selaku badan hukum publik adalah: Jual beli barang milik daerah, hibah, tukar guling, tukar tambah, pinjam meminjam, pengadaan tanah, dan lain sebagainya sepanjang objek perjanjiannya adalah kebendaan perdata (harta kekayaan) sesuai Pasal 499 KUH Perdata.
- 2.Batasan Kewenangan Melakukan Perjanjian Keperdataan bagi Pemerintah Daerah Otonom
Pada dasarnya baik setiap orang maupun setiap badan hukum bebas mengadakan perjanjian apapun sepanjang memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun pertanyaannya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia apakah ada batasan kewenangan pemerintah daerah otonom dalam melakukan perjanjian keperdataan? Jika ada maka hal tersebut tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan hukum dan melanggar syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata berupa sebab yang halal.
Sebab atau causa yang dianggap halal sebagai syarat sah perjanjian adalah dasar atau tujuan yang sah dan tidak bertentangan dengan hukum, moral, atau keadilan. Dalam konteks hukum perjanjian, causa merupakan salah satu unsur yang penting untuk menentukan keabsahan suatu perjanjian. Sebuah perjanjian dianggap sah jika terdapat causa yang halal atau legal sebagai landasan atau tujuan dari perjanjian tersebut.
Syarat causa atau sebab yang halal adalah syarat objektif dari perjanjian. Artinya pelanggaran atas syarat tersebut berakibat perjanjian menjadi batal demi hukum alias dianggap tidak pernah ada. Jika suatu perjanjian melanggar syarat berupa sebab yang halal maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam hal ini, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta pembatalan tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa apabila suatu keputusan administrasi pemerintahan cacat secara kewenangan maka keputusan tersebut dianggap tidak sah yakni segala akibat hukum dari keputusan tersebut dianggap tidak pernah ada (batal demi hukum).
Pasal 10 UU Pemda mengatur bahwa urusan pemerintahan absolut yang merupakan kekuasaan pemerintahan pusat adalah:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama
Dengan demikian pemerintah daerah otonom tidak boleh melaksanakan kewenangan terkait dengan keenam hal tersebut jika tidak didelegasikan oleh Pemerintah pusat.
Sebagai contoh di bidang pertahanan dan keamanan maka pemerintah daerah tidak boleh mengadakan alutsista (Alat Utama Sistem Persenjataan) sendiri karena status pemerintah daerah otonom bukan merupakan negara tetapi pemerintahan lokal di bawah negara kesatuan. Pengadaan alutsista menurut pembagian kewenangan merupakan bagian dari kewenangan pemerintah pusat. Dengan demikian meskipun di dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diperbolehkan mengadakan perjanjian pengadaan barang atau jasa pemerintah dengan pihak asing tetapi untuk hal-hal tertentu yang terkait dengan kewenangan pemerintah pusat maka pemerintah daerah otonom tidak boleh melaksanakannya. Meski pun hal ini pengadaan alutsista oleh pemerintah daerah tidak diatur secara langsung dalam norma hukum tertulis tetapi secara logika hukum hal ini tentu dilarang sesuai pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah.
Contoh lain dari batasan atas materi kewenangan pemerintah daerah otonom untuk melakukan perjanjian perdata adalah hutang. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Utang dan Hibah Luar Negeri, pemerintah daerah dilarang melakukan perjanjian yang menimbulkan utang luar negeri. Dengan demikian apabila pemerintah daerah otonom melakukan perjanjian utang luar negeri maka berdasarkan ketentuan Pasal 4 PP Nomor 10 Tahun 2011 perjanjian tersebut adalah batal demi hukum karena melanggar syarat objektif perjanjian menurut Pasal 1320 KUH perdata yakni sebab yang halal.
- C.PENUTUP
Daerah otonom selaku badan hukum publik berwenang untuk melakukan perjanjian di bidang hukum perdata. Dalam hal ini daerah otonom diwakili oleh kepala daerah selaku pemerintah daerah di daerah otonom untuk melakukan perjanjian di bidang hukum perdata. Meskipun daerah otonom merupakan badan hukum publik tetapi ia juga bisa berkedudukan sebagai badan hukum perdata apabila melakukan perbuatan hukum terkait dengan harta kekayaannya karena harta kekayaan dari badan hukum publik terpisah dari harta kekayaan negara secara teori. Adapun perjanjian di bidang hukum perdata yang dimaksud adalah terkait dengan benda-benda harta kekayaan dari milik daerah yang secara hukum dapat diperjualbelikan sesuai Pasal 1332 KUH Perdata, bukan benda publik yang tidak boleh diperjualbelikan (ex commercium).
Kewenangan pemerintah daerah otonom untuk mewakili daerah otonom selaku badan hukum publik dalam perjanjian di bidang hukum perdata dibatasi dalam ketentuan hukum mengenai kewenangan pemerintah pusat. Sehingga hal-hal yang menjadi kewenangan pemerintah pusat tidak boleh dilaksanakan oleh pemerintah daerah termasuk mengenai perjanjian di bidang hukum perdata. Apabila pemerintah daerah otonom melaksanakan kewenangan pemerintah pusat dalam perjanjian di bidang hukum perdata maka ia telah melanggar Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sah perjanjian yakni sebab yang halal dan berakibat perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa apabila suatu keputusan administrasi pemerintahan cacat secara kewenangan maka keputusan tersebut dianggap tidak sah yakni segala akibat hukum dari keputusan tersebut dianggap tidak pernah ada (batal demi hukum).
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, Zaka Firma, Muhammad Adiguna Bimasakti dan Anna Erliyana. Hukum Administrasi Negara Kontemporer: Konsep, Teori dan Penerapannya di Indonesia. Depok: Rajawali Pers, 2023.
Bimasakti, Muhammad Adiguna. “Pemakzulan Anggota MWA UI Unsur Mahasiswa Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara". Jurnal Hukum Peratun Vol. 3 No. 1 (2020).
Bimasakti, Muhammad Adiguna. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) oleh Pemerintah / Onrechtmatige Overheidsdaad (OOD) dari Sudut Pandang Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Yogyakarta: Deepublish, 2018.
Gofar, Abdullah. Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Kesatu. Malang: Tunggal Mandiri, 2014.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.
K., Yuliastati. "Urgensi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Terhadap Perencanaan Pembangunan Daerah". Jurnal Katalogis, Vol. 5 No. 4, (2017).
Lubis, M. Solly. Pergeseran Garis Politik dan Perundang-Undangaan Mengenai Pemerintahan Daerah. Bandung: Alumni, 1974.
M., Aldwin Rahadian. Catatan Kritis Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam Sudut Pandang Hukum Administrasi Pemerintahan. Yogyakarta: Deepublish, 2021.
Ma’arij, Aman. “Analisis Penerapan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Terhadap Pelaksanaan Pemerntahan Daerah”. Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan Vol. 4 No. 2 (2020).
Manan, Bagir. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: PSH FH UII, 2001.
Maramis, Stephanie Nathania et.al. "Kajian Hukum Tentang Keabsahan Jual Beli Online Pada Aplikasi Facebook". Jurnal Lex Privatum Vol. 11 No.4 (2023).
Muin, Fatkhul. “Otonomi Daerah dalam Perspektif Pembagian Urusan Pemerintah-Pemerintah Daerah dan Keuangan Daerah”. Jurnal Fiat Justitia Vol. 8 No. 1 (2014).
Nugrohosudin, Ervin. "Kedudukan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara". Jurnal Legislatif Vol. 5 No. 2 (2022).
Pahlevi, lndra. "Posisi Wakil Kepala Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia". Jurnal Kajian Vol 17 No. 1 (2012).
Prayudi. “Hubungan DPRD dan Kepala Daerah: Studi Penggunaan Mekanisme Konsultasi Pembuatan Kebijakan Daerah”. Jurnal Kajian Vol. 24, No. 4, (2019).
Putra, Hidayat Pratama. “Penilaian Terhadap Batal Atau Tidak Sahnya Suatu Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan”. Jurnal Hukum Peratun Vol. 3 No. 1 (2020).
Rusli, Tami. "Asas Kebebasan Berkontrak Sebagai Dasar Perkembangan Perjanjian di Indonesia", Jurnal Pranata Hukum Vol. 10 No. 1 (2015).
Rusli, Tami. Sistem Badan Hukum Indonesia. Bandar Lampung: Aura Publishing, 2017.
Said, Abdul Rauf Alauddin. “Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Seluasluasnya Menurut UUD 1945”. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Vol. 9 No. 4 (2015).
Samudra, Dian dan Ujang Hibar. "Studi Komparasi Sahnya Perjanjian Antara Pasal 1320 K.U.H.Perdata dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan". Jurnal Res Justitia, Vol. 1 No. 1 (2021).
Santoso, M. Agus. "Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia". Jurnal Ilmu Administrasi Vol. 6 No. 4 (2009).
Tololiu, Yafet Febrian Valentino dan Muh Jufri Ahmad. "Kedudukan Barang Virtual Menurut Hukum Benda Indonesia Yang Diatur Dalam Kuhperdata Buku Kedua Tentang Barang". Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance, Vol. 3 No. 2 (2023).
Utrecht, E. Hukum Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: Balai Buku dan Penerbit Ichtiar, 1964.