ALTERNATIF PERAMPASAN ASET AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI SEBELUM ADANYA UU PERAMPASAN ASET MELALUI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Oleh: Muhammad Adiguna Bimasakti (Hakim PTUN Mataram)
Perampasan aset merupakan upaya dari negara untuk memulihkan kerugian yang dialami negara akibat tindak pidana korupsi. Pemerintah diberikan kewenangan untuk merampas aset terdakwa/terpidana korupsi untuk memulihkan kerugian keuangan/perekonomian negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa. Dengan demikian apabila seseorang diduga melakukan tindak pidana korupsi sesuai Pasal 2 atau 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) meski belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap maka asetnya dapat disita oleh negara.
Wacana untuk membuat undang-undang mengenai perampasan aset sudah lama dibahas tetapi sampai saat ini belum diselesaikan dengan alasan yang politis. Sehingga aparat penegak hukum harus bisa mencari alternatif sebagai solusi untuk menangani kekosongan hukum dalam perampasan aset tindak pidana korupsi. Adapun alternatif yang dapat digunakan adalah melalui gugatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sesuai Pasal 1365 KUH Perdata.
Ada pun Pasal 2 dan 3 UU Tipikor sebetulnya adalah bentuk dari kriminalisasi terhadap perbuatan melawan hukum yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara baik kerugian keuangan negara maupun perekonomian negara. Sehingga pada dasarnya ia merupakan pengembangan dari doktrin perbuatan melawan hukum yang ada di dalam hukum perdata. Pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor mengatur bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara maka dipidana dengan pidana tertentu.
Jika demikian maka pada dasarnya unsur-unsur yang ada dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor beririsan dengan unsur-unsur yang ada pada Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Berikut adalah perbandingan unsur PMH Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor:
A. Pasal 1365 KUH Perdata:
1. Perbuatan (daad)
2. Melawan hukum (onrechtmatige)
3. Karena Kesalahannya (schuld)
4. Menimbulkan Kerugian pihak lain (schade)
5. Adanya kerugian adalah akibat dari perbuatan tersebut (Kausalitas)
B. Unsur Pasal 2 dan 3 UU Tipikor:
1. Setiap orang
2. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi
3. Secara melawan hukum
4. Menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
(Khusus Pasal 3 ada unsur mengenai menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang ada padanya).
Apabila seseorang diduga melakukan tindak pidana Pasal 2 atau 3 UU Tipikor maka negara dapat melakukan gugatan PMH kepadanya tanpa menunggu putusan pidana terlebih dahulu. Sebab tidak ada keharusan dalam hukum, mengenai hal mana yang harus dibuktikan terlebih dahulu, baik pidananya atas perdatanya.
Ada pun selain melalui gugatan PMH yang tersendiri, gugatan juga dapat diajukan berbarengan dengan proses peradilan pidana yakni dengan gabungan gugatan ganti kerugian sesuai Pasal 98 KUHAP asalkan diajukan sebelum tuntutan dibacakan.
Sehingga tanpa adanya UU Perampasan Aset, negara dapat melakukan upaya hukum berupa gugatan perdata kepada pelaku tindak pidana korupsi meski pun belum ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Perbedaannya, tindakan perampasan aset yang diupayakan melalui gugatan perdata dapat dilakukan apabila telah ada putusan hakim perdata yang berkekuatan hukum tetap atau putusan yang serta merta dapat dilaksanakan langsung (uitvoerbaar bij voorraad). Artinya perampasan aset dilakukan melalui eksekusi putusan hakim perdata.
Hal ini berbeda dengan perampasan aset yang akan diatur melalui RUU Perampasan aset yang merupakan Tindakan Faktual pemerintahan (feitelijke handeling) berupa paksaan pemerintah (bestuurdwang) tanpa perlu putusan hakim. Namun apabila pihak yang asetnya disita merasa keberatan maka ia bisa mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai Pasal 87 huruf a Jo. Pasal 76 ayat (3) Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan (UU AP) setelah menempuh keberatan kepada pejabat yang menyita asetnya dan banding kepada atasannya.
Kesimpulan
Pertama: Tanpa adanya UU Perampasan Aset, pemerintah dapat melakukan perampasan aset dengan cara mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di pengadilan negeri sesuai Pasal 1365 KUH Perdata karena unsur-unsurnya bersinggungan dengan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
Kedua: Gugatan dapat diajukan terpisah dari proses peradilan pidana tanpa menunggu adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap, atau melalui gabungan gugatan ganti kerugian sesuai Pasal 98 KUHAP selama belum tahapan pembacaan tuntutan.
Ketiga: Perbedaan antara Perampasan aset melalui UU Perampasan aset dengan melalui gugatan keperdataan PMH adalah mengenai teknisnya. Jika melalui UU Perampasan aset maka perampasan aset dianggap sebagai Tindakan Faktual Pemerintahan dan dapat digugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara oleh pihak yang disita asetnya (dirampas dahulu asetnya baru diuji di pengadilan mengenai keabsahan perampasan asetnya). Namun apabila melalui gugatan PMH maka perampasan aset merupakan pelaksanaan dari Putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap (Ada putusan hakim dahulu baru dirampas asetnya).